PSP, seberapa berartinya bagimu?
Ehmm... secara materi nggak berarti sama sekali, wong nggak nduiti heheu. PSP buatku adalah jejak, petilasan, sesuatu untuk mengingatkan.
Lebih sip lagi klo ilmu yang didapet dari kegiatan yang kita ikuti dan menggondol PSP itu masih nyanthol dan diaplikasikan dalam keseharian.
Dan menyoal PSP ini, aku sempat dibuat kuciwa, asbab ada yang nyeletuk, "heleeeh, apa pentingnya piagam kayak gitu?" ketika aku berniat membawa dan menyimpan selembar piagam dari sebuah perguruan beladiri. Piagam itu masih tersimpan dengan bingkai kaca yang sudah kusam oleh asap dapur, di tempat kontrakan orangtua di Jakarta, ingin kubawa ke rumah kami di Bandung.
Dalam piagam itu ditulis pernyataan 'ter' setelah namaku. Nha, makna 'ter' itu sendirilah yang melahirkan... sebuah kebanggaan mungkin, atau setidaknya pemantik ketika kita dalam kondisi yang notabene jauh dari 'ter' yang dalam hal ini bermakna positif.
Berhubung akhir akhir kemarin aku suka mengikuti beberapa event nulis di mana sebagian ada yang memberikan piagam atau sertifikat, baik untuk pemenang, finalis, bahkan sekadar yang ikut urun berpartisipasi dalam hajat mereka.
Alhamdulillaah, meski dalam ujud e-sertificate karena dikirim via email. Aku kebagian juga 'something doesn't mean' untuk sebagian orang itu.
Sebagaimana yang tertera, semoga menjadi sebuah langkah kecil...
Aku akan menyimpannya, untuk memulakan sebuah langkah.
Klo kamu, seberapa berarti PSPmu? ^_^
Setiap apa yang tak dapat diungkapkan melalui kata dan laku, titipkan pada aksara yang 'kan berkata isinya jiwa
Silahkan, sugeng rawuh.....monggo lesehan sembari meresapi rangkaian aksara jemariku. Semoga memberikan sesuatu yang bermanfaat ^_^ \/
Rabu, 05 Maret 2014
Jumat, 28 Februari 2014
Ini 'karyaku'
Menulis tuu... hobi.
Mulanya karena membaca, jadi pengen bisa nulis seperti yang dibaca. Nama n foto pun mejeng di media :D
Nulis pun selingan hobi lainnya, ketika bosen corat coret gambar, lagi suntuk utak utik craft yang ga jelas juntrungan.
Dari jaman es de, cukup nulis di sela halaman buku sekolah atau kertas folio. Bener bener menarikan pena ( pulpen, pensil ) karena ga/belum punya mesin ketik ataupun komputer. Laptop apalagi heheu...
Media majalah juga hanya sebatas khayal bisa mejengin foto dan cerpen/puisi, karena itu tadi, sarana yang masih terbatasi. Jadi yaa, nulis... nulis aja. Dari dongeng negri di awan, untuk pengantar tidur buat diri sendiri ( jaman es de ), nulis cerpen ato puisi ( udah es em pe es em a, itu maaah ) untuk konsumsi sahabat n teman dekat. Nulisnya masih setia pakai kertas di buku besar, itu lhoo buku yang ukuran folio sampulnya corak batik kkkk
Hobi yang sekadar passion ( gitu kata orang orang ) karena tidak ada target untuk dapet duit, masih berlangsung sampai lulus es em a. Hijrah ke kota besar, fasilitas pun tersedia di mana-mana, pun seiring perkembangan jaman. Iseng ngirim sebuah puisi ke alamat redaksi tabloid remaja, dengan jurus TKL (istilah yang kini sering kami koarkan Tulis, Kirim, Lupakan) waah, benarrr. Suatu hari pun terdengar kabar, cieee... yang foto sama puisinya nangkring di GAUL.
Tadinya nggak ngeh, wong lagi jemur cucian. Pas disodorin tabloidnya, baru jingkrak jingkrak :p Itu sekalinya ngirim dan dimuat. Selanjutnya teteup hobi dan bukan profesi.
Vakum nulis setelah menikah, lanjut lagi menekuni hobi satu ini ketika mengenal ef bi, medsos yang diciptakan sama Mr. Zuck itu. Dari sana nyemplung atopun dicemplungin ke grup grup penulisan. Dan... melahirkan beberapa buku antologi dari event event yang diadakan ;)
And this it...
Suka, karyanya terangkum dalam sebentuk buku? Iyalaaah, meski kebanyakan penerbit indie. Setidaknya buku buku itu adalah jejak meski masih terserak.
Mulanya karena membaca, jadi pengen bisa nulis seperti yang dibaca. Nama n foto pun mejeng di media :D
Nulis pun selingan hobi lainnya, ketika bosen corat coret gambar, lagi suntuk utak utik craft yang ga jelas juntrungan.
Dari jaman es de, cukup nulis di sela halaman buku sekolah atau kertas folio. Bener bener menarikan pena ( pulpen, pensil ) karena ga/belum punya mesin ketik ataupun komputer. Laptop apalagi heheu...
Media majalah juga hanya sebatas khayal bisa mejengin foto dan cerpen/puisi, karena itu tadi, sarana yang masih terbatasi. Jadi yaa, nulis... nulis aja. Dari dongeng negri di awan, untuk pengantar tidur buat diri sendiri ( jaman es de ), nulis cerpen ato puisi ( udah es em pe es em a, itu maaah ) untuk konsumsi sahabat n teman dekat. Nulisnya masih setia pakai kertas di buku besar, itu lhoo buku yang ukuran folio sampulnya corak batik kkkk
Hobi yang sekadar passion ( gitu kata orang orang ) karena tidak ada target untuk dapet duit, masih berlangsung sampai lulus es em a. Hijrah ke kota besar, fasilitas pun tersedia di mana-mana, pun seiring perkembangan jaman. Iseng ngirim sebuah puisi ke alamat redaksi tabloid remaja, dengan jurus TKL (istilah yang kini sering kami koarkan Tulis, Kirim, Lupakan) waah, benarrr. Suatu hari pun terdengar kabar, cieee... yang foto sama puisinya nangkring di GAUL.
Tadinya nggak ngeh, wong lagi jemur cucian. Pas disodorin tabloidnya, baru jingkrak jingkrak :p Itu sekalinya ngirim dan dimuat. Selanjutnya teteup hobi dan bukan profesi.
Vakum nulis setelah menikah, lanjut lagi menekuni hobi satu ini ketika mengenal ef bi, medsos yang diciptakan sama Mr. Zuck itu. Dari sana nyemplung atopun dicemplungin ke grup grup penulisan. Dan... melahirkan beberapa buku antologi dari event event yang diadakan ;)
And this it...
beberapa dari 'karyaku' meski masih antologi Pict. doc pribadi By Andar_Roemah Tjahaya |
Agak kecewanya... mungkin yang membeli buku buku itu hanya para kontributor. Nyeseknya, klo ada yang beli melalui kita tapi ga pernah transfer duitnya, padahal buku sudah dikirim dan diterima :D
Kok bisa? Heheu karena aku ngirim bukunya dulu untuk kalkulasi harga buku plus ongkir, baru nunggu konfirm transferan. But, its a lesson about a honesty.
Hobi nulisku juga tak hanya 'nyampah' di beranda ef bi, tapi juga 'ngemeng' di blog, macam ini. Yah, bermanfaat ga bermanfaat buat yang baca... mohon maaf saja :D
Sabtu, 11 Januari 2014
Untuk Zumi
Tak lagi tatap beningmu ; merajuk
Tiada kini elusan kepalamu ; merayu
Gemas jemari, gigi ; tak dirasai lagi
Kau pergi
Merindu polah lincahmu
Aku ; kehilanganmu
Tiada kini elusan kepalamu ; merayu
Gemas jemari, gigi ; tak dirasai lagi
Kau pergi
Merindu polah lincahmu
Aku ; kehilanganmu
Langganan:
Postingan (Atom)