Silahkan, sugeng rawuh.....monggo lesehan sembari meresapi rangkaian aksara jemariku. Semoga memberikan sesuatu yang bermanfaat ^_^ \/

Selasa, 29 Mei 2012

Merindumu Pada Seraut Wajah


Oleh : Andar Chan Murasaki

Disetiap khusyuk rangkaian dzikir dan do’a, ba’da bercengkrama mesra dengan-Nya
Senantiasa mengulang dan meyakinkan hatiku, dalam tiap lima waktu terindahku
Hanya dirimu sebagai uswah al hasan
Akhir bagi semua utusan…

Yaa Musthofa…
Dalam sepi hati dan besarnya asa
Menanti pencari keping rusuk kiri
Pemilik wajah bersinar purnamamu yang kan kutemui
Yang senantiasa beranak rambut basah
Berhias senyum sumringah, berazzam  istiqomah

Nur Chandarsa


Oleh :  Andar Chan Murasaki

Nur Chandarsa...
Senyummu citra pesonaku
Tawamu cermin gembiraku
Tangismu gambaran resahku
Nur Chandarsa...

Kerlip bintang tak mampu menuntunku
Sinar pelita tak dapat terangi jalanku
Bara api tak sanggup nyalakan semangatku
Sengat bisa tak henti ayun langkahku

Anggaplah Sebagai Kesempatan Kedua (Dengan Cara-Nya Yang Indah)


Oleh : Andary Witjaksono

            Tidak semua orang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, terlepas dari jalan seperti apa, ada kuasa Sang Pencipta dibaliknya. Terkadang seseorang menjadi cepat berprasangka bahwa ia tidak akan mendapatkan kesempatan kedua.
            Dulu aku juga menganggap bahwa semuanya sudah lewat.
Berakhir sudah semua cita-citaku untuk dapat menjadi mahasiswa atau kuliah. Sampai-sampai aku memendam dendam dan menyalahkan orang tua, karena tidak bisa melanjutkan pendidikan selepas SMA.

Kelana Aksara

Harus meluangkan waktu untuk bermesra denganmu
Menyusuri setiap reliefmu, mengantar pada sebuah luas tak bertepi
Mewujudkan segala yang mengimaji

Rasanya… Seni’mat Rujak



            Aku adalah anak pertama dalam keluarga inti, dengan tiga adik yang tak pernah kulihat pertumbuhan dan perkembangan mereka semasa balita, karena aku tinggal dengan nenekku. Aku juga tipikal gadis tomboy yang aktif kesana kemari, sehingga ‘ilmu rumah’ hampir tak kupelajari. Ketika orangtuaku pulang kampung, aku memilih untuk mancing ke sungai, ‘ngebon’ atau pergi ke gunung mencari burung bersama bapak dan adik lelakiku.
            Setelah menikahpun, suami adalah anak pertama dan tiga adiknya yang lelaki semua juga belum menikah. Sehingga pengalaman mengasuh anak bisa dibilang minim kumiliki. Namun begitu aku menyukai anak-anak, sebab dunia mereka yang polos, lucu dan fisik anak-anak yang begitu menggemaskan terutama para balita.
            Pernah suatu saat aku ‘homestay’ di rumah bibiku yang berada di kota kabupaten. Beliau adalah adik ibu satu-satunya, anaknya sudah besar-besar perempuan semua. Beliau ingin sekali punya anak lelaki, akhirnya bibi mengasuh anak lelaki sejak usianya beberapa bulan, karena orangtuanya bekerja sebagai karyawan di sebuah industri tekstil.
            Ketika itu aku homestay dikarenakan sedang ikut sebuah pelatihan Kriya Kayu dan mengikuti sekolah broadcast di Solo, sedangkan orang tua mukim di Jakarta. Karena aku tinggal bersama bibi, jadilah aku ikutan asyik mengasuh Yazeed, anak asuh bibi. Dari sanalah aku merasakan bagaimana harus bangun tengah malam, disaat mataku sedang ni’matnya beradu, sekedar membuatkan susu untuk Yazeed. Sebab aku tidur bersamanya dengan sepupuku anak pertama bibi, yang kebagian jatah mengurus Yazeed saat dititipkan sore harinya.
            Hingga di subuh hari kepalaku cenut-cenut karena tidur bangun-tidur bangun.
           “Biar Rini sin gawe susu, dia kan sekolah awan. Njagakne dumeh ada kamu.” Bibi kemudian ‘mejang’ Rini, sepupuku yang duduk di kelas tiga SMK.
           “Nggak apa-apa, Lik. Lagipula aku kasihan, Yazeed udah nangis,” sementara Rini hanya melet padaku sambil nyuci di sumur. Hitung-hitung bekal ilmu kelak jika aku menjadi ibu J
 Sore harinya sepulang dari PKL di sebuah perusahaan mebel, aku sudah melihat Yazeed diajak bermain Tyas dan Ayu, sepupuku yang lain. Setelah berganti baju dan membersihkan diri aku ganti menggendong Yazeed. Eh, nggak lama si adik kecilnya ‘pup’.
“Wealah.. Yazeed ki lho, eek wae ngenteni tante imut. Yowis, bejomu iku Mbak!” Tyas langsung kabur meninggalkan aku dan Yazeed.
“Ihh, nggak mau! Aku aja jijik sama punya sendiri…” aku mencari bibi.
“Hehe Bu’e lagi ke warung, Nda. Resikomu, Lha Yazeed pengen diceboki sama tante imut, wkwkwk.” Rini tertawa bebek, dan benar-benar dia nggak mau ninggalin gosokannya. Karena memang anak-anak bibi sudah punya jadwal tugas masing-masing. Berhubung Tyas dan Ayu masih sekolah dasar, mereka bebas tugas ngasuh Yazeed, sebatas nemenin saja. Akhirnya mau nggak mau aku membawa Yazeed ke kamar mandi dengan ‘gembolan’ nya.
Sumpah, aku sampai muntah sewaktu nyebokin dan membersihkan celana Yazeed. Sambil mikir juga, gimana ya nanti kalau aku menikah dan punya anak? Baby sitter, pembantu rumah tangga? Ya kalau keuangan kami nanti cukup untuk menggaji mereka, kalau untuk makan sehari-hari saja nggak ada?! Hehe.. iyalah memikirkan yang susah dulu J
Dan ternyata.. setelah menikah dan punya anak, urusan asuh mengasuh buah hati begitu fantastis. Menurutku pribadi kalau sekedar mengasuh buah hati, nggak perlu khusus pakai ilmu-ilmu tertentu, karena setiap orang tua, terutama ibu mempunyai keahlian alami untuk mengurus buah hatinya.
Dulu aku nggak percaya kalau ada ibu-ibu muda yang mengeluh,
“Aduh, repot punya anak kecil. Nggak bisa kemana-mana.” Emang anak itu seperti pasung atau rantai belenggu, ya? Tapi aku juga nggak percaya begitu saja ketika ada teman yang sudah duluan nikah dan punya anak, bilang…
“Ah, apa repotnya mengasuh anak? Aku enjoy saja…” Hehe, jadi sebenarnya seperti apa rasanya mengasuh buah hati baru bisa kurasakan setelah punya anak sendiri. Dan fakta membuktikan, repot atau nggak nya mengasuh buah hati itu kembali pada masing-masing pribadi.
Setelah dua minggu melahirkan, aku harus mengurus dan mengasuh sendiri buah hatiku. Mertua belum bisa menjenguk karena faktor pekerjaan, orangtua yang sebelumnya sudah menunggui sejak sehari sebelum lahiran harus balik ke Jakarta karena sebuah urusan. Jadilah aku sendirian di rumah saat suami harus pergi kerja.
Kubaringkan Riyadh putraku di atas kursi tamu, dengan meja sebagai idang-idangnya setiap aku menjemur cucian di halaman depan rumah, sehingga dia dapat terlihat dan terdengar langsung olehku jika menangis, sebab kamarku lumayan jauh ke dalam. Karena ia pernah terjatuh dari keranjang ayunan saat kutinggal mencuci di belakang, saking aktifnya.
Pun ketika aku harus memandikannya, waktu itu aku hanya modal ‘bismillaah’. Dulu sewaktu lajang setiap melihat bayi merah yang dimandikan aku merasa ngeri sekaligus tak tega, nyatanya… seumur-umur baru sekalinya itu aku memandikan bayi. Alhamdulillaah ‘parno’ku langsung hilang begitu saja, pikiran kalau sampai bayinya ‘klelep’ tak sekalipun mampir di benakku, hehe.. beneran lho! Itu adalah hal yang selalu jadi pertanyaan kalau aku melihat orang memandikan bayi dengan hitungan umur kurang dari sebulan, apalagi aku baru sekali ini melakoninya.
Hingga buah hatiku bertambah usia, aku masih meni’mati pengalamanku mengasuhnya langsung, tanpa asisten. Bahkan aku nggak pernah tega untuk menitipkan anakku walau sepuluh menit pun kepada orang lain. Meski ketika aku harus mengerjakan tugas rumah sambil menggendong anakku karena belum bisa berjalan,
Neng, bae atuh ku Emak diasuh si Ayang na,” suatu ketika tetangga menegurku sepulang dari warung berjarak lumayan jauh dan harus melewati jalan yang naik turun sambil menggendong anakku, sering orang bilang gedean yang digendong daripada yang nggendong J
Dan tidak pernah ada kejadian aku muntah gara-gara nyebokin anakku, kalupun mau muntah itu bukan karena jijik, melainkan efek bau. Jangankan bau yang itu mencium wangi parfum saja aku bisa muntah dan pusing hehe…
Sekarang Riyadh sudah berusia dua tahun delapan bulan, daya tangkapnya untuk hal-hal baru sangat cepat begitupun ingatannya. Tentu saja ‘nakal’ menjadi fase wajib dunia anak-anak. Bagaimana dia ngrecokin para santri TPA sampai mereka nangis-nangis saat mengikutiku mengajar. Lasaknya ia ketika ikut berbagai kegiatan di luar rumah.
Ulah lucu dan usilnya ketika ikut sholat, awalnya memang tertib melakukan gerakan sholat tapi setelah ‘umminya sujud langsung dijadikan kudaan. Juga ketika ia sudah tergerak untuk selalu terlibat dalam setiap aktivitas ‘umminya, menjadikan hati dan jiwa ini seolah tak rela ia jauh dari mata.
“Jangan berlebihan mencintainya hingga menomor duakan Allah, karena Ia akan cemburu. Bisa saja Allah memberikan ujian dengan mengambilnya atau menjadikan Riyadh kenapa-napa” kata-kata suamiku membuatku menangis di suatu saat Riyadh sakit panas. Sudah berbagai saran pengobatan –tradisional- kulakukan, tak kunjung ia sembuh. Akhirnya ke dokter, setelah di beri obatpun panasnya tak kunjung sembuh.
Yah.. saking sayangku pada buah hatiku untuk sholat pun aku mengulur waktu, menunggu buah hatiku terlelap dulu –ketika Riyadh belum bisa berempati-. Namun setelah Riyadh sembuh aku sebisa mungkin sholat tepat waktu, sebab ia mengingatkanku,
“Umi, sholat dulu sudah allohu akbang!” Ya Allah, bagaimana aku tidak begitu mencintainya? Aku memang manusia biasa tak lepas dari alfa, terkadang ada ketidak sabaran dalam mengasuhnya.
Pernah aku beranggapan bahwa dunia kami sama, ia sudah bisa mengerti begini dan begitu. Sehingga pada saat dia mengulang kesalahan aku menghukumnya,
“Sudah Umi bilang, kalau nakal umi tidak mau sama Riyadh. Umi tinggal saja..” aku lalu bersembunyi di ruang lain. Hingga akhirnya dia menangis,
“Umi, umi.. jangan tinggalin Riyadh! Umi cantik di mana, Iyadh minta aap –maaf-!” sambil menangis dan mendatangi setiap sudut rumah. Duhh.. kalau sudah begitu aku ikut menangis di tempat persembunyian. Ketika ‘timeout’ habis maka aku mendatanginya, begitu melihat aku muncul dia langsung memelukku, tangisnya meledak.
“Iyadh minta aap.. “ tatapan bersalahnya membuatku trenyuh,
“Nakal lagi?” kuusap airmatanya yang justru semakin menderas.
“Nggak..”
“Janji?”
“Janji” ia pun mengangguk dan mengulurkan tangan mungilnya untuk bersalaman lalu mengaitkan kelingkingnya.
“Kenapa Riyadh nangis?”
            “Ditinggal umi..” masih sesenggukan ia menjawab.
            “Riyadh, sayang nggak sama umi?”
            “Sayang..”
            “Maafin umi yaa..” dan kucium ia, kupeluk erat. Dibalasnya dengan ciuman khasnya –bukan hanya pipi, tapi semua yang menjadi bagian kepala- J
            So, mengasuh buah hati bukanlah suatu hal yang membuat seorang ibu menjadi paranoid, illfeel. Jangan pernah berasumsi bahwa anak kita adalah beban, jadikan ia teman main yang menyenangkan. Bagaimanapun kondisi buah hati kita, asuhlah dengan rasa kasih sayang, agar ia tumbuh menjadi pribadi penyayang.
            Secara pribadi, bagiku mengasuh buah hati rasanya seni’mat rujak. Ada manis, kecut, asin, pedas, bahkan sesekali rasa sepat dan pahit tercecap. Semuanya menjadi ladang ilmu dan pahala bagi kita sebagai orang tua.