Aku adalah anak pertama dalam
keluarga inti, dengan tiga adik yang tak pernah kulihat pertumbuhan dan
perkembangan mereka semasa balita, karena aku tinggal dengan nenekku. Aku juga
tipikal gadis tomboy yang aktif kesana kemari, sehingga ‘ilmu rumah’ hampir tak
kupelajari. Ketika orangtuaku pulang kampung, aku memilih untuk mancing ke
sungai, ‘ngebon’ atau pergi ke gunung mencari burung bersama bapak dan adik
lelakiku.
Setelah menikahpun, suami adalah anak
pertama dan tiga adiknya yang lelaki semua juga belum menikah. Sehingga
pengalaman mengasuh anak bisa dibilang minim kumiliki. Namun begitu aku
menyukai anak-anak, sebab dunia mereka yang polos, lucu dan fisik anak-anak
yang begitu menggemaskan terutama para balita.
Pernah suatu saat aku ‘homestay’ di
rumah bibiku yang berada di kota kabupaten. Beliau adalah adik ibu satu-satunya,
anaknya sudah besar-besar perempuan semua. Beliau ingin sekali punya anak
lelaki, akhirnya bibi mengasuh anak lelaki sejak usianya beberapa bulan, karena
orangtuanya bekerja sebagai karyawan di sebuah industri tekstil.
Ketika itu aku homestay dikarenakan sedang ikut sebuah pelatihan Kriya Kayu dan
mengikuti sekolah broadcast di Solo,
sedangkan orang tua mukim di Jakarta. Karena aku tinggal bersama bibi, jadilah
aku ikutan asyik mengasuh Yazeed, anak asuh bibi. Dari sanalah aku merasakan
bagaimana harus bangun tengah malam, disaat mataku sedang ni’matnya beradu,
sekedar membuatkan susu untuk Yazeed. Sebab aku tidur bersamanya dengan
sepupuku anak pertama bibi, yang kebagian jatah mengurus Yazeed saat dititipkan
sore harinya.
Hingga di subuh hari kepalaku
cenut-cenut karena tidur bangun-tidur bangun.
“Biar Rini sin gawe susu, dia kan
sekolah awan. Njagakne dumeh ada
kamu.” Bibi kemudian ‘mejang’ Rini, sepupuku yang duduk di kelas tiga SMK.
“Nggak apa-apa, Lik. Lagipula aku
kasihan, Yazeed udah nangis,” sementara Rini hanya melet padaku sambil nyuci di
sumur. Hitung-hitung bekal ilmu kelak jika aku menjadi ibu J
Sore harinya sepulang dari PKL di sebuah
perusahaan mebel, aku sudah melihat Yazeed diajak bermain Tyas dan Ayu,
sepupuku yang lain. Setelah berganti baju dan membersihkan diri aku ganti
menggendong Yazeed. Eh, nggak lama si adik kecilnya ‘pup’.
“Wealah..
Yazeed ki lho, eek wae ngenteni tante
imut. Yowis, bejomu iku Mbak!” Tyas
langsung kabur meninggalkan aku dan Yazeed.
“Ihh,
nggak mau! Aku aja jijik sama punya sendiri…” aku mencari bibi.
“Hehe
Bu’e lagi ke warung, Nda. Resikomu, Lha Yazeed pengen diceboki sama tante imut,
wkwkwk.” Rini tertawa bebek, dan benar-benar dia nggak mau ninggalin
gosokannya. Karena memang anak-anak bibi sudah punya jadwal tugas
masing-masing. Berhubung Tyas dan Ayu masih sekolah dasar, mereka bebas tugas ngasuh Yazeed, sebatas nemenin saja.
Akhirnya mau nggak mau aku membawa Yazeed ke kamar mandi dengan ‘gembolan’ nya.
Sumpah,
aku sampai muntah sewaktu nyebokin dan membersihkan celana Yazeed. Sambil mikir
juga, gimana ya nanti kalau aku menikah dan punya anak? Baby sitter, pembantu rumah tangga? Ya kalau keuangan kami nanti
cukup untuk menggaji mereka, kalau untuk makan sehari-hari saja nggak ada?! Hehe..
iyalah memikirkan yang susah dulu J
Dan
ternyata.. setelah menikah dan punya anak, urusan asuh mengasuh buah hati
begitu fantastis. Menurutku pribadi kalau sekedar mengasuh buah hati, nggak
perlu khusus pakai ilmu-ilmu tertentu, karena setiap orang tua, terutama ibu mempunyai
keahlian alami untuk mengurus buah hatinya.
Dulu
aku nggak percaya kalau ada ibu-ibu muda yang mengeluh,
“Aduh,
repot punya anak kecil. Nggak bisa kemana-mana.” Emang anak itu seperti pasung atau rantai belenggu, ya? Tapi aku
juga nggak percaya begitu saja ketika ada teman yang sudah duluan nikah dan
punya anak, bilang…
“Ah,
apa repotnya mengasuh anak? Aku enjoy
saja…” Hehe, jadi sebenarnya seperti apa rasanya mengasuh buah hati baru bisa
kurasakan setelah punya anak sendiri. Dan fakta membuktikan, repot atau nggak
nya mengasuh buah hati itu kembali pada masing-masing pribadi.
Setelah
dua minggu melahirkan, aku harus mengurus dan mengasuh sendiri buah hatiku.
Mertua belum bisa menjenguk karena faktor pekerjaan, orangtua yang sebelumnya
sudah menunggui sejak sehari sebelum lahiran harus balik ke Jakarta karena
sebuah urusan. Jadilah aku sendirian di rumah saat suami harus pergi kerja.
Kubaringkan
Riyadh putraku di atas kursi tamu, dengan meja sebagai idang-idangnya setiap aku menjemur cucian di halaman depan rumah,
sehingga dia dapat terlihat dan terdengar langsung olehku jika menangis, sebab
kamarku lumayan jauh ke dalam. Karena ia pernah terjatuh dari keranjang ayunan
saat kutinggal mencuci di belakang, saking aktifnya.
Pun
ketika aku harus memandikannya, waktu itu aku hanya modal ‘bismillaah’. Dulu
sewaktu lajang setiap melihat bayi merah yang dimandikan aku merasa ngeri
sekaligus tak tega, nyatanya… seumur-umur baru sekalinya itu aku memandikan
bayi. Alhamdulillaah ‘parno’ku langsung hilang begitu saja, pikiran kalau
sampai bayinya ‘klelep’ tak sekalipun mampir di benakku, hehe.. beneran lho!
Itu adalah hal yang selalu jadi pertanyaan kalau aku melihat orang memandikan
bayi dengan hitungan umur kurang dari sebulan, apalagi aku baru sekali ini
melakoninya.
Hingga
buah hatiku bertambah usia, aku masih meni’mati pengalamanku mengasuhnya
langsung, tanpa asisten. Bahkan aku nggak pernah tega untuk menitipkan anakku
walau sepuluh menit pun kepada orang lain. Meski ketika aku harus mengerjakan
tugas rumah sambil menggendong anakku karena belum bisa berjalan,
“Neng, bae atuh ku Emak diasuh si Ayang na,”
suatu ketika tetangga menegurku sepulang dari warung berjarak lumayan jauh dan
harus melewati jalan yang naik turun sambil menggendong anakku, sering orang
bilang gedean yang digendong daripada yang nggendong J
Dan
tidak pernah ada kejadian aku muntah gara-gara nyebokin anakku, kalupun mau
muntah itu bukan karena jijik, melainkan efek bau. Jangankan bau yang itu
mencium wangi parfum saja aku bisa muntah dan pusing hehe…
Sekarang
Riyadh sudah berusia dua tahun delapan bulan, daya tangkapnya untuk hal-hal
baru sangat cepat begitupun ingatannya. Tentu saja ‘nakal’ menjadi fase wajib
dunia anak-anak. Bagaimana dia ngrecokin para santri TPA sampai mereka nangis-nangis
saat mengikutiku mengajar. Lasaknya
ia ketika ikut berbagai kegiatan di luar rumah.
Ulah
lucu dan usilnya ketika ikut sholat, awalnya memang tertib melakukan gerakan
sholat tapi setelah ‘umminya sujud langsung dijadikan kudaan. Juga ketika ia
sudah tergerak untuk selalu terlibat dalam setiap aktivitas ‘umminya,
menjadikan hati dan jiwa ini seolah tak rela ia jauh dari mata.
“Jangan
berlebihan mencintainya hingga menomor duakan Allah, karena Ia akan cemburu.
Bisa saja Allah memberikan ujian dengan mengambilnya atau menjadikan Riyadh
kenapa-napa” kata-kata suamiku membuatku menangis di suatu saat Riyadh sakit
panas. Sudah berbagai saran pengobatan –tradisional- kulakukan, tak kunjung ia
sembuh. Akhirnya ke dokter, setelah di beri obatpun panasnya tak kunjung
sembuh.
Yah..
saking sayangku pada buah hatiku untuk sholat pun aku mengulur waktu, menunggu
buah hatiku terlelap dulu –ketika Riyadh belum bisa berempati-. Namun setelah
Riyadh sembuh aku sebisa mungkin sholat tepat waktu, sebab ia mengingatkanku,
“Umi,
sholat dulu sudah allohu akbang!” Ya Allah, bagaimana aku tidak begitu
mencintainya? Aku memang manusia biasa tak lepas dari alfa, terkadang ada
ketidak sabaran dalam mengasuhnya.
Pernah
aku beranggapan bahwa dunia kami sama, ia sudah bisa mengerti begini dan begitu.
Sehingga pada saat dia mengulang kesalahan aku menghukumnya,
“Sudah
Umi bilang, kalau nakal umi tidak mau sama Riyadh. Umi tinggal saja..” aku lalu
bersembunyi di ruang lain. Hingga akhirnya dia menangis,
“Umi,
umi.. jangan tinggalin Riyadh! Umi cantik di mana, Iyadh minta aap –maaf-!”
sambil menangis dan mendatangi setiap sudut rumah. Duhh.. kalau sudah begitu
aku ikut menangis di tempat persembunyian. Ketika ‘timeout’ habis maka aku
mendatanginya, begitu melihat aku muncul dia langsung memelukku, tangisnya
meledak.
“Iyadh
minta aap.. “ tatapan bersalahnya membuatku trenyuh,
“Nakal
lagi?” kuusap airmatanya yang justru semakin menderas.
“Nggak..”
“Janji?”
“Janji”
ia pun mengangguk dan mengulurkan tangan mungilnya untuk bersalaman lalu
mengaitkan kelingkingnya.
“Kenapa
Riyadh nangis?”
“Ditinggal umi..” masih sesenggukan
ia menjawab.
“Riyadh, sayang nggak sama umi?”
“Sayang..”
“Maafin umi yaa..” dan kucium ia,
kupeluk erat. Dibalasnya dengan ciuman khasnya –bukan hanya pipi, tapi semua
yang menjadi bagian kepala- J
So,
mengasuh buah hati bukanlah suatu hal yang membuat seorang ibu menjadi
paranoid, illfeel. Jangan pernah
berasumsi bahwa anak kita adalah beban, jadikan ia teman main yang
menyenangkan. Bagaimanapun kondisi buah hati kita, asuhlah dengan rasa kasih
sayang, agar ia tumbuh menjadi pribadi penyayang.
Secara pribadi, bagiku mengasuh buah
hati rasanya seni’mat rujak. Ada manis, kecut, asin, pedas, bahkan sesekali rasa
sepat dan pahit tercecap. Semuanya menjadi ladang ilmu dan pahala bagi kita
sebagai orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar