Silahkan, sugeng rawuh.....monggo lesehan sembari meresapi rangkaian aksara jemariku. Semoga memberikan sesuatu yang bermanfaat ^_^ \/

Senin, 19 Maret 2012

Menulis Hujan


Menulis Hujan
Oleh : Andar Chan Murasaki

Musim hujan telah tiba, hari-hari diselimuti mendung dan angin bertiup begitu dingin. Tahun ini, memasuki tahun ke empat tulisanku tentang hujan. Hujan yang selalu membawa rahmat dari Sang Penciptanya, hujan yang senantiasa menghadirkan cinta dalam setiap curahnya, pun hujan yang mengingatkan kepada setiap kenangan.
Dari teras depan aku melihat lelaki separuh baya, berjalan tergesa dengan pikulan di bahunya. Padahal cuaca sedang hujan begitu deras, sehingga bunyi kentongan di tangannya samar kudengar.
“Maang…beli!” Tiba-tiba saja aku berteriak menghentikan langkahnya yang tergesa, sudah beberapa langkah menjauh dari depan rumahku. Lelaki itu pun berbalik menuju panggilan pembelinya. Aku tertegun, aduhai…kenapa aku memanggil penjual bakso tahu itu.

Jumat, 16 Maret 2012

Sebenarnya Cinta


Maukah kau tau Dinda…
Sungguhnya teramat sayangku padamu
Sebab kerana telah engkau sejukkan penglihatanku
Telah pula kau tundukkan pandanganku
Pada selainmu…


Tlah kau nyalakan …

Kamis, 15 Maret 2012

Aku adalah air


Jika diminta untuk menggambarkan diriku sebagai  benda, sebenarnya banyak yang ingin ku wakilkan. Tapi karena hanya sebuah saja, maka aku ingin seperti air. Dimana ia akan tetap ada meski terik matahari melenyapkannya, ia akan menjadi uap yang kemudian akan mengembun di suatu tempat dan temperature.

Selasa, 13 Maret 2012

Meski Menulis Dalam Angan

Harus mencari dan mencuri waktu
Untuk mewujudkanmu menjadi rangkaian aksara yang terbaca
Biarlah tak apa, ku menulis dalam angan semula
Kusimpan dahulu menjadi kalimat-kalimat padu
Dalam jedaku menjaga malaikat kecil
'Kan kutebar engkau sebagai curahan jiwa

Kamis, 08 Maret 2012

Love This Green


Oleh : Andar Chan Murasaki

            “Beribu jalan ke Roma, satu jalan ke surga. Sepertinya kata-kata itu sudah tak asing kita dengar, begitu halnya dengan kecintaan kita terhadap bumi ini. Banyak jalan untuk mengalirkan cinta padanya, namun satu jalan yang harus kita tapaki...semaikan benih dalam diri sendiri maka ia akan tumbuh menyegarkan bumi!” tiada lantang suara itu terdengar, namun begitu tertanam di sanubari.
            Adalah awal aku mencintainya, mungkin karena sedari belia aku telah akrab memandanginya. Setiap aku membaui desahnya, maka kesegaran merasuk raga, menjernihkan apa yang gundah, menentramkan segala yang resah. Dahulu, dimasa beliaku, selalu menjumpainya dipagi buta di atas bukit desa. Di sana ketika mentari separuh menebar warna emas jingga, agar tahu betapa kumencintainya, kusuguhkan senyum dengan  mata yang terpejam. Betapa dalam aku menikmati eloknya, meski di usia yang begitu belia.
            “Wening, apa yang kamu semai?” pertanyaan itu memotong telusurku dalam mencintainya.
            “Yang pasti benih cinta...” jawabku disambut derai tawa mereka yang mengaku laki-laki, tak begitu dengan teman-teman gadisku, mereka hanya menyimpannya dalam senyum.