Menulis
Hujan
Oleh
: Andar Chan Murasaki
Musim
hujan telah tiba, hari-hari diselimuti mendung dan angin bertiup begitu dingin.
Tahun ini, memasuki tahun ke empat tulisanku tentang hujan. Hujan yang selalu
membawa rahmat dari Sang Penciptanya, hujan yang senantiasa menghadirkan cinta
dalam setiap curahnya, pun hujan yang mengingatkan kepada setiap kenangan.
Dari
teras depan aku melihat lelaki separuh baya, berjalan tergesa dengan pikulan di
bahunya. Padahal cuaca sedang hujan begitu deras, sehingga bunyi kentongan di
tangannya samar kudengar.
“Maang…beli!”
Tiba-tiba saja aku berteriak menghentikan langkahnya yang tergesa, sudah
beberapa langkah menjauh dari depan rumahku. Lelaki itu pun berbalik menuju
panggilan pembelinya. Aku tertegun, aduhai…kenapa aku memanggil penjual bakso
tahu itu.
“Bade, Neng?” Katanya di depan pintu
pagar, mengagetkanku. Kusambar gagang payung dari dalam tong rotan di samping
pintu.
“Iy…
iya, Mang.” Aku bergegas membukakan pintu pagar, kemudian menyuruhnya ke teras.
“Nuhun, Neng. Mamang di dieu we…” dalam keadaan basah kuyup sambil
membungkuk beliau menolakku.
“Tidak
apa-apa, Mang. Hujan deras banget, mamang nggak ada payung. Sebentar ya, saya
ambil piring dulu.” Ketika keluar bukan hanya dua buah piring yang berada di
tanganku, ada handuk dan pakaian lengkap luar dalam milik suamiku.
“Mamang
ganti saja dulu, ini milik suami saya. Pakaian dalamnya baru kok, Mang.” Sambil
nyengir aku mengatakan itu.
“Aduh
… Neng, tidak usah.”
“Kalau
mamang tidak mau, saya nggak jadi beli bakso tahunya!” Glek! Aku sendiri kaget
mendengar apa yang baru saja kukatakan, apalagi lelaki paruh baya itu. Setelah
kutunjukkan kamar mandi tamu, dengan ekspresi bingung beliau menerima pakaian
itu dan menuju kamar mandi di samping teras.
“Neng…
nuhun, ari mamang teh bingung ka eneng….”
Sambil mebuatkan baso tahu pesananku mamang itu meminta penjelasan.
“Mamang
siapa namanya?”
“Rahman,
tapi orang-orang mah biasa we panggil mamang, Mang Janggot.” Ya iyalah si
mamang jenggotnya panjang hehe…
“Mang
Rahman, bapak saya juga dagang bakso keliling. Melihat mamang saya ingat bapak
saya. Beliau mah dagangnya digerobak jadi bisa pakai payung kalau hujan,
sebenarnya pakai jas hujan lebih praktis tapi katanya repot kalau melayani
pembeli.”
“Iya,
Neng. Kalau pakai payung mah riweuh, jas
hujan ge teu gaduh…” Mang Rahman selesai mengisi piring kedua.
“O
iya, saya lupa uangnya … sebentar, Mang.”
“
Ini uangnya kembaliannya buat mamang saja, ini
kresek buat bungkus baju mamang dan….ini jas hujan buat mamang.” Dengan
sumringah aku ulurkan semua barang-barang yang ada di tanganku.
“Neng
… iyeu mah ageung pisan, baso tahu sapuluh
ribu. Jeung iyeu …” Mang Rahman menatapku keheranan dengan uang lima
puluhan ribu di tangannya.
“Mamang
… ini rizqi dari allah, saya jarang di rumah dan baru sekali ini saya beli
dagangan mamang, biarlah anggap ini tambahan penghasilan karena hari hujan dan
mamang tertahan beberapa lama di sini. Jas hujan ini sudah tidak dipakai lagi,
jadi saya rasa lebih bermanfaat kalau buat mamang.”
“Hatur nuhun … Neng, biarlah Gusti Allah
yang membalas semua kebaikan anjeun.”
Terbata dan berkaca mang Rahman berkata. Aku yang memang gampang trenyuh tak
kuasa menahan genangan air di pelupuk mataku.
“Aamin
… allahumma aamin …” aku mengamini dengan sepenuh hati.
“Mamang
pamit, Neng.” Setelah berbenah dengan jas hujannya mang Rahman beranjak
melanjutkan tugasnya, kuantar beliau sampai di depan pagar.
“Hati-hati,
Mang … biasanya turunan di depan sana licin …”
“Iya
… iya … nuhun pisan, assalamu’alaikum
….”
Akupun
menjawab salam mang Rahman, mengantarnya dengan senyum hingga beliau menghilang
dari pandanganku di jalan turunan depan sana. Jika payung tak menghalangi
guyuran hujan, mungkin airmataku telah berbaur bersamanya. Syukur pada-Mu ya
Allah yang telah memberikan ni’mat kepada hamba-Mu bersama turunnya rahmat yang
Kau curahkan melalui hujan, ni’mat berbagi kepada sesama, ni’mat untuk
menghargai satu dengan lainnya. Yang akan menjadi halaman baru dalam aku menulis
tentang hujan.
Aku
pun beranjak masuk, segera menuju ‘goa pertapan’ … membuka halaman-halaman
kisah dalam hujan …
***
Disuatu
siang yang begitu menyengat, padahal sudah dua hari ini hujan membasahi tanah
pasundan. Aku duduk di sebuah bangku halte sambil membaca sebuah majalah
kuliner.
“Wahai
sang surya … kuharap kau sudi redup sejenak, dan merestui awan menghitam
tertiup bayu, hingga meluruhlah butiran-butiran hujan membasahi hamparan bumi …”
Tiba-tiba aku dikejutkan sebuah lantunan sajak dari seorang pemuda yang kulihat
sudah berdiri menengadah, dengan sinar mata yang garang menantang teriknya
matahari. Tak terelak, beberapa orang yang ada di sekitar halte bahkan yang
pandangannya menjangkau pemandangan dramatikal itupun terheran-heran.
Aku
menduga-duga, mungkin demikian juga khalayak ramai. Pemuda itu sedang melakukan
semacam pentas trotoar, mungkin sedang ada pengambilan adegan shooting film
atau sinetron, bisa jadi pemuda yang mencari sensasi. Maklum saja, anak muda
suka berlebihan dalam berekspresi.
“Dan
kudapat melihat kembali mentariku … yang senantiasa datang bersama hujan … menghadirkan bias pelangi dalam keindahan
senyumnya …” Tiba-tiba raut muka pemuda itu menyirat duka. Aku masih
menatapnya, lebih tepat lagi … memperhatikannya. Kalau memang benar dia sedang
melakukan pentas trotoar, bagus sekali penjiwaannya akan sajak yang dia
tampilkan.
“Kasihan
… sudah hampir setahun, belum juga dia melupakan kejadian itu …” Sebuah suara
setengah berbisik kudengar dari sampingku. Aku menoleh ke asal suara, seorang
lelaki berkumis penjaga kios rokok.
“Maaf,
Pak … boleh saya tahu … “ naluriku sebagai penulis tak kuasa lagi untuk mencari
tahu. Tak bermaksud menyinggung kesedihan orang lain pastinya, hanya saja rasa
ingin tahuku terhadap sesuatu begitu besarnya …
“Oh
… dia itu pemuda sekitar sini, Mbak. Setahun yang lalu adiknya mengalami
kecelakaan, saat itu hujan begitu deras disertai angin pula, sehingga cuaca
berkabut. Adiknya baru saja turun dari sebuah bis, tahu-tahu sebuah sepeda
motor nyelonong. Mungkin karena kaget gadis itu tersentak ke belakang,
sementara bis sedang tancap gas … terseretlah adiknya…”
“Meninggal
di tempat?” aku menebak, tragis.
“Nggak,
Mbak. Hanya saja pemuda itu sangat shock, sebab kejadiannya pas banget di depan
mata. Dia biasa menjemput adik semata wayangnya itu, Mbak.” Aku mendengar
seksama apa yang disampaikan Si Bapak Kumis.
“Mm
… begitu ceritanya, Bapak pendatang ya, dari Jakarta?” iseng, kumat konyolku.
“Iya,
Mbak ... kok tahu?”
“Lha
itu kiosnya …’Bang Kumis asli Betawi’ …”
“Hehehe
… Mbak bisa saja,” aku mesem melihat Bang Kumis tersepoi-sepoi, eh … tersipu
malu.
“Iseng
aje, Bang …” aku nyengir (tapi … asli
cakepan aku kalau dibanding sama kuda hehehe …). Lho! Kemana pemuda tadi?
Saking seriusnya menyimak cerita Bang Kumis aku jadi kehilangan ‘obyek’ ku.
Aku
menengadah menatap langit, awan mulai menggumpal kelabu, sepertinya sudah tak
kuasa menahan beban air di dalamnya. Hujan … setidaknya jangan dulu kau luruh
ke bumi sebelum aku mendapatkan bis yang akan membawaku pulang. ‘Maaf ya, Dik …
aku tak bisa seiring harapmu untuk merindu hujan. Biarlah alam yang bekerja,
insyaallah adikmu diberikan tempat yang layak sesuai amal perbuatannya …’ dalam
hati aku berbisik.
Hujan
… kiranya kau meninggalkan luka dalam hati seorang pemuda, -seorang kakak lebih
tepatnya- yang entah kapan dapat terobati, mungkinkah olehmu juga lara itu akan
sirna …
***
Dan
hujan … masih saja menyimpan banyak kenangan …
Sore
di sebuah warung es kelapa muda di bahu jalan depan sebuah SMU, dimana pagar
besi sekolahan menjadi penyekat warung. Hujan turun meski tak begitu deras, menjadikan
ni’mat yang sangat buatku dalam menyelurup semangkuk mie ayam hangat. Tak
sengaja pandanganku menangkap sosok seorang gadis duduk sendirian di tepi
lapangan sekolah, mengenakan seragam hitam-hitam khas pakaian jawara pencak
silat. Menghindarkan diri dari tampias hujan, gadis itu duduk bersandar dinding
kelas di belakangnya.
Sejenak
aku menghentikan makanku, memperhatikan roman mukanya. Meski samar aku yakin
ada bening meleleh di pipinya. Tampak olehku ia mengeluarkan sebuah buku dan …
menulis, entah apa yang ia goreskan dengan ujung penanya. Diary kah? Ah, sok
tahu aku ini …
Aku
menyeruput air jeruk hangat yang sedari tadi mengepul, lalu kembali pada
pemandangan yang tak begitu jauh dariku. Gadis itu sedang melihat ponselnya,
mungkin ada pesan singkat atau sekedar melihat jam. Kembali ia menulis dan tak
berapa lama ia beranjak pergi. Kembali aku meni’mati mie ayamku ketika di atas
meja tepat di sebelahku tergolek sebuah buku dengan halamannya yang terbuka,
sebuah puisi …
“Mas,
air jeruk anget ya …” suaranya begitu lembut, kemudian ia duduk, maka
berdampinganlah kami. Seperti biasanya, sesuatu yang menarik akan membuatku
untuk mencari tahu …
“Nggak
jadi latihan, Dik?” aku sok tahu, memangnya ia mau latihan hehehe …
“Nggak,
pada nggak bisa dateng. Hujan! Sungguh, alasan yang pantas untuk orang yang
nggak konsisten,” lembut suaranya namun tajam nada kata-katanya.
“Maaf,
mencuri lihat … “ aku mengerling bukunya.
“Oh,
hanya melepaskan apa yang menggumpal sesak, Mbak …”
“Bagus
lho …”
‘Lagi
…dan kembali, menunggu ditemani waktu yang bisu …, sama-sama tergugu oleh tak
pedulimu, tidakkah kau tahu … dalam rinainya ada keteduhan, membawa kesegaran
dalam sesak yang gersang, bila tiada niat ‘kan datang …, maka tak perlu salahkan
hujan …’
“Hujan
tak selalu menjadikan alam kelabu kan, Mbak? Bukankah setelahnya langit akan
cerah, karena … sebab ia kelabu telah tercurah, bahkan terkadang pelangi pun
tersuguh indah …”
Aku
manggut-manggut menarik kedua sudut bibirku. Yaa … ya, terkadang manusia memang
sulit untuk melihat dari satu sisi kebaikan, ketika sudah dihadapkan pada
sesuatu yang menurut mereka tidak menguntungkan. Begitupun dengan hujan,
mungkin hanya segelintir orang yang memaknai setiap tetes yang ia curahkan.
Disetiap tetesnya tersimpan sebuah janji pasti akan keberkahan. Pun denganku …
yang senantiasa merindu hujan, sebab padanya aku menumpukan harapan … dalam
setiap tulisan hujan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar