Silahkan, sugeng rawuh.....monggo lesehan sembari meresapi rangkaian aksara jemariku. Semoga memberikan sesuatu yang bermanfaat ^_^ \/

Senin, 19 Maret 2012

Menulis Hujan


Menulis Hujan
Oleh : Andar Chan Murasaki

Musim hujan telah tiba, hari-hari diselimuti mendung dan angin bertiup begitu dingin. Tahun ini, memasuki tahun ke empat tulisanku tentang hujan. Hujan yang selalu membawa rahmat dari Sang Penciptanya, hujan yang senantiasa menghadirkan cinta dalam setiap curahnya, pun hujan yang mengingatkan kepada setiap kenangan.
Dari teras depan aku melihat lelaki separuh baya, berjalan tergesa dengan pikulan di bahunya. Padahal cuaca sedang hujan begitu deras, sehingga bunyi kentongan di tangannya samar kudengar.
“Maang…beli!” Tiba-tiba saja aku berteriak menghentikan langkahnya yang tergesa, sudah beberapa langkah menjauh dari depan rumahku. Lelaki itu pun berbalik menuju panggilan pembelinya. Aku tertegun, aduhai…kenapa aku memanggil penjual bakso tahu itu.
Bade, Neng?” Katanya di depan pintu pagar, mengagetkanku. Kusambar gagang payung dari dalam tong rotan di samping pintu.
“Iy… iya, Mang.” Aku bergegas membukakan pintu pagar, kemudian menyuruhnya ke teras.
Nuhun, Neng. Mamang di dieu we…” dalam keadaan basah kuyup sambil membungkuk beliau menolakku.
“Tidak apa-apa, Mang. Hujan deras banget, mamang nggak ada payung. Sebentar ya, saya ambil piring dulu.” Ketika keluar bukan hanya dua buah piring yang berada di tanganku, ada handuk dan pakaian lengkap luar dalam milik suamiku.
“Mamang ganti saja dulu, ini milik suami saya. Pakaian dalamnya baru kok, Mang.” Sambil nyengir aku mengatakan itu.
“Aduh … Neng, tidak usah.”
“Kalau mamang tidak mau, saya nggak jadi beli bakso tahunya!” Glek! Aku sendiri kaget mendengar apa yang baru saja kukatakan, apalagi lelaki paruh baya itu. Setelah kutunjukkan kamar mandi tamu, dengan ekspresi bingung beliau menerima pakaian itu dan menuju kamar mandi di samping teras.
“Neng… nuhun, ari mamang teh bingung ka eneng….” Sambil mebuatkan baso tahu pesananku mamang itu meminta penjelasan.
“Mamang siapa namanya?”
“Rahman, tapi orang-orang mah biasa we panggil mamang, Mang Janggot.” Ya iyalah si mamang jenggotnya panjang hehe…  
“Mang Rahman, bapak saya juga dagang bakso keliling. Melihat mamang saya ingat bapak saya. Beliau mah dagangnya digerobak jadi bisa pakai payung kalau hujan, sebenarnya pakai jas hujan lebih praktis tapi katanya repot kalau melayani pembeli.”
“Iya, Neng. Kalau pakai payung mah riweuh, jas hujan ge teu gaduh…” Mang Rahman selesai mengisi piring kedua.
“O iya, saya lupa uangnya … sebentar, Mang.”
“ Ini uangnya kembaliannya buat mamang saja, ini  kresek buat bungkus baju mamang dan….ini jas hujan buat mamang.” Dengan sumringah aku ulurkan semua barang-barang yang ada di tanganku.
“Neng … iyeu mah ageung pisan, baso tahu sapuluh ribu. Jeung iyeu …” Mang Rahman menatapku keheranan dengan uang lima puluhan ribu di tangannya.
“Mamang … ini rizqi dari allah, saya jarang di rumah dan baru sekali ini saya beli dagangan mamang, biarlah anggap ini tambahan penghasilan karena hari hujan dan mamang tertahan beberapa lama di sini. Jas hujan ini sudah tidak dipakai lagi, jadi saya rasa lebih bermanfaat kalau buat mamang.”
Hatur nuhun … Neng, biarlah Gusti Allah yang membalas semua kebaikan anjeun.” Terbata dan berkaca mang Rahman berkata. Aku yang memang gampang trenyuh tak kuasa menahan genangan air di pelupuk mataku.
“Aamin … allahumma aamin …” aku mengamini dengan sepenuh hati.
“Mamang pamit, Neng.” Setelah berbenah dengan jas hujannya mang Rahman beranjak melanjutkan tugasnya, kuantar beliau sampai di depan pagar.
“Hati-hati, Mang … biasanya turunan di depan sana licin …”
“Iya … iya … nuhun pisan, assalamu’alaikum ….”
Akupun menjawab salam mang Rahman, mengantarnya dengan senyum hingga beliau menghilang dari pandanganku di jalan turunan depan sana. Jika payung tak menghalangi guyuran hujan, mungkin airmataku telah berbaur bersamanya. Syukur pada-Mu ya Allah yang telah memberikan ni’mat kepada hamba-Mu bersama turunnya rahmat yang Kau curahkan melalui hujan, ni’mat berbagi kepada sesama, ni’mat untuk menghargai satu dengan lainnya. Yang akan menjadi halaman baru dalam aku menulis tentang hujan.
Aku pun beranjak masuk, segera menuju ‘goa pertapan’ … membuka halaman-halaman kisah dalam hujan …
***
Disuatu siang yang begitu menyengat, padahal sudah dua hari ini hujan membasahi tanah pasundan. Aku duduk di sebuah bangku halte sambil membaca sebuah majalah kuliner.
“Wahai sang surya … kuharap kau sudi redup sejenak, dan merestui awan menghitam tertiup bayu, hingga meluruhlah butiran-butiran hujan membasahi hamparan bumi …” Tiba-tiba aku dikejutkan sebuah lantunan sajak dari seorang pemuda yang kulihat sudah berdiri menengadah, dengan sinar mata yang garang menantang teriknya matahari. Tak terelak, beberapa orang yang ada di sekitar halte bahkan yang pandangannya menjangkau pemandangan dramatikal itupun terheran-heran.
Aku menduga-duga, mungkin demikian juga khalayak ramai. Pemuda itu sedang melakukan semacam pentas trotoar, mungkin sedang ada pengambilan adegan shooting film atau sinetron, bisa jadi pemuda yang mencari sensasi. Maklum saja, anak muda suka berlebihan dalam berekspresi.
“Dan kudapat melihat kembali mentariku … yang senantiasa datang bersama hujan …  menghadirkan bias pelangi dalam keindahan senyumnya …” Tiba-tiba raut muka pemuda itu menyirat duka. Aku masih menatapnya, lebih tepat lagi … memperhatikannya. Kalau memang benar dia sedang melakukan pentas trotoar, bagus sekali penjiwaannya akan sajak yang dia tampilkan.
“Kasihan … sudah hampir setahun, belum juga dia melupakan kejadian itu …” Sebuah suara setengah berbisik kudengar dari sampingku. Aku menoleh ke asal suara, seorang lelaki berkumis penjaga kios rokok.
“Maaf, Pak … boleh saya tahu … “ naluriku sebagai penulis tak kuasa lagi untuk mencari tahu. Tak bermaksud menyinggung kesedihan orang lain pastinya, hanya saja rasa ingin tahuku terhadap sesuatu begitu besarnya …
“Oh … dia itu pemuda sekitar sini, Mbak. Setahun yang lalu adiknya mengalami kecelakaan, saat itu hujan begitu deras disertai angin pula, sehingga cuaca berkabut. Adiknya baru saja turun dari sebuah bis, tahu-tahu sebuah sepeda motor nyelonong. Mungkin karena kaget gadis itu tersentak ke belakang, sementara bis sedang tancap gas … terseretlah adiknya…”
“Meninggal di tempat?” aku menebak, tragis.
“Nggak, Mbak. Hanya saja pemuda itu sangat shock, sebab kejadiannya pas banget di depan mata. Dia biasa menjemput adik semata wayangnya itu, Mbak.” Aku mendengar seksama apa yang disampaikan Si Bapak Kumis.
“Mm … begitu ceritanya, Bapak pendatang ya, dari Jakarta?” iseng, kumat konyolku.
“Iya, Mbak ... kok tahu?”
“Lha itu kiosnya …’Bang Kumis asli Betawi’ …”
“Hehehe … Mbak bisa saja,” aku mesem melihat Bang Kumis tersepoi-sepoi, eh … tersipu malu.
“Iseng aje, Bang …” aku nyengir (tapi … asli cakepan aku kalau dibanding sama kuda hehehe …). Lho! Kemana pemuda tadi? Saking seriusnya menyimak cerita Bang Kumis aku jadi kehilangan ‘obyek’ ku.
Aku menengadah menatap langit, awan mulai menggumpal kelabu, sepertinya sudah tak kuasa menahan beban air di dalamnya. Hujan … setidaknya jangan dulu kau luruh ke bumi sebelum aku mendapatkan bis yang akan membawaku pulang. ‘Maaf ya, Dik … aku tak bisa seiring harapmu untuk merindu hujan. Biarlah alam yang bekerja, insyaallah adikmu diberikan tempat yang layak sesuai amal perbuatannya …’ dalam hati aku berbisik. 
Hujan … kiranya kau meninggalkan luka dalam hati seorang pemuda, -seorang kakak lebih tepatnya- yang entah kapan dapat terobati, mungkinkah olehmu juga lara itu akan sirna …
***
Dan hujan … masih saja menyimpan banyak kenangan …
Sore di sebuah warung es kelapa muda di bahu jalan depan sebuah SMU, dimana pagar besi sekolahan menjadi penyekat warung. Hujan turun meski tak begitu deras, menjadikan ni’mat yang sangat buatku dalam menyelurup semangkuk mie ayam hangat. Tak sengaja pandanganku menangkap sosok seorang gadis duduk sendirian di tepi lapangan sekolah, mengenakan seragam hitam-hitam khas pakaian jawara pencak silat. Menghindarkan diri dari tampias hujan, gadis itu duduk bersandar dinding kelas di belakangnya.
Sejenak aku menghentikan makanku, memperhatikan roman mukanya. Meski samar aku yakin ada bening meleleh di pipinya. Tampak olehku ia mengeluarkan sebuah buku dan … menulis, entah apa yang ia goreskan dengan ujung penanya. Diary kah? Ah, sok tahu aku ini …
Aku menyeruput air jeruk hangat yang sedari tadi mengepul, lalu kembali pada pemandangan yang tak begitu jauh dariku. Gadis itu sedang melihat ponselnya, mungkin ada pesan singkat atau sekedar melihat jam. Kembali ia menulis dan tak berapa lama ia beranjak pergi. Kembali aku meni’mati mie ayamku ketika di atas meja tepat di sebelahku tergolek sebuah buku dengan halamannya yang terbuka, sebuah puisi …  
“Mas, air jeruk anget ya …” suaranya begitu lembut, kemudian ia duduk, maka berdampinganlah kami. Seperti biasanya, sesuatu yang menarik akan membuatku untuk mencari tahu …
“Nggak jadi latihan, Dik?” aku sok tahu, memangnya ia mau latihan hehehe …
“Nggak, pada nggak bisa dateng. Hujan! Sungguh, alasan yang pantas untuk orang yang nggak konsisten,” lembut suaranya namun tajam nada kata-katanya.
“Maaf, mencuri lihat … “ aku mengerling bukunya.
“Oh, hanya melepaskan apa yang menggumpal sesak, Mbak …”
“Bagus lho …”
‘Lagi …dan kembali, menunggu ditemani waktu yang bisu …, sama-sama tergugu oleh tak pedulimu, tidakkah kau tahu … dalam rinainya ada keteduhan, membawa kesegaran dalam sesak yang gersang, bila tiada niat ‘kan datang …, maka tak perlu salahkan hujan …’
“Hujan tak selalu menjadikan alam kelabu kan, Mbak? Bukankah setelahnya langit akan cerah, karena … sebab ia kelabu telah tercurah, bahkan terkadang pelangi pun tersuguh indah …”
Aku manggut-manggut menarik kedua sudut bibirku. Yaa … ya, terkadang manusia memang sulit untuk melihat dari satu sisi kebaikan, ketika sudah dihadapkan pada sesuatu yang menurut mereka tidak menguntungkan. Begitupun dengan hujan, mungkin hanya segelintir orang yang memaknai setiap tetes yang ia curahkan. Disetiap tetesnya tersimpan sebuah janji pasti akan keberkahan. Pun denganku … yang senantiasa merindu hujan, sebab padanya aku menumpukan harapan … dalam setiap tulisan hujan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar