Oleh
: Andar Chan Murasaki
“Beribu jalan ke Roma, satu jalan ke
surga. Sepertinya kata-kata itu sudah tak asing kita dengar, begitu halnya
dengan kecintaan kita terhadap bumi ini. Banyak jalan untuk mengalirkan cinta
padanya, namun satu jalan yang harus kita tapaki...semaikan benih dalam diri
sendiri maka ia akan tumbuh menyegarkan bumi!” tiada lantang suara itu
terdengar, namun begitu tertanam di sanubari.
Adalah awal aku mencintainya,
mungkin karena sedari belia aku telah akrab memandanginya. Setiap aku membaui
desahnya, maka kesegaran merasuk raga, menjernihkan apa yang gundah,
menentramkan segala yang resah. Dahulu, dimasa beliaku, selalu menjumpainya
dipagi buta di atas bukit desa. Di sana ketika mentari separuh menebar warna
emas jingga, agar tahu betapa kumencintainya, kusuguhkan senyum dengan mata yang terpejam. Betapa dalam aku
menikmati eloknya, meski di usia yang begitu belia.
“Wening, apa yang kamu semai?”
pertanyaan itu memotong telusurku dalam mencintainya.
“Yang pasti benih cinta...” jawabku
disambut derai tawa mereka yang mengaku laki-laki, tak begitu dengan
teman-teman gadisku, mereka hanya menyimpannya dalam senyum.
“Ada saatnya pikiran praktis itu
menjerumuskan, ya macam kalian itu...hehehe” kulempar kerlingan pada sekumpulan
pejantan di barisan sebelah. Sore itu kami para anggota Ranadri (Karang Taruna Mandiri)
yang rata-rata anak SMA, sedang berkumpul di basecamp untuk membicarakan
pembentukan kelompok pecinta alam, di salah satu sudut selatan kota Jakarta.
Kak Restu yang menjadi ketua ngepasi
sebagai mantan anggota pecinta alam dulu di almamater Senior High School, pun setelah selesai kuliah D3, beliau masih
aktif menggendong kantong-kantong sampah saat turun gunung.
“Nggak segitunya kalii...” satu dua
orang menyanggah, kujulurkan lidah. Usia kami pada saat itu sedang membara dalam menapaki setiap
masalah.
“Yaa..maksud saya,
aplikasinya...Ning..” bijak bestari Kak Restu meredam suasana.
“Trash
or Waste Discipline atau disiplin sampah, jangan sembarangan buang sampah.
Kalau perlu dipilah-pilah mana sampah kering, mana sampah basah...”
“Ya kalau kesiram air plastiknya
juga basah, Ning. Basah..basah..basaah...hahaha” Saeful, hobi main bola sepak
melucu dengan lagu. Dia Omku sepantar denganku, putra bibiku, saudaraku satu
susu.
“Serius nih...jangan sampai ya,
Ful...latihan besok kita jadi lawan. Kalau kejadian, awas tulang kaki depan..”
Aku mendelik, Saeful cengar-cengir karena pernah beradu kaki denganku.
“Kalau bisa kamu jangan lagi ikut
latihan sepakbola, konsis saja volleyball dan basket. Anak perawan ikut-ikutan nendang bola,
kalau satu tim sih nggak apa. Lha ini..salah-salah bukan pada merebut bola,
rebutan kamu iya...” masih saja dia meledek.
“Ini paman sama ponakan...fokus, fokus!”
Yudi, yang antusias sekali dengan pembentukan kelompok pecinta alam, menghardik
lantang. Walau diselingi celoteh yang kesana-kemari maka terbentuklah JAPALARA,
Remaja Pecinta ALam Ranadri. Yang memiliki filosofi sebagai mantra atau obat
untuk kelestarian alam. Disanalah cintaku padanya semakin menyemi dan
membuncah. Kian gemuruh sebab tiada mampu penuh tercurah. Mendekam kupendam
laksana kapal karam di dasar samudera kelam.
Japalara merupakan bentukan dari Sie
Lingkungan Hidup Ranadri. Dari situ kami banyak mengadakan kegiatan-kegiatan
yang tak lepas dari menjaga kelestarian lingkungan. Mulai dari pengadaan tong
sampah terpilah hasil karya anak-anak Ranadri, penyaringan sampah yang
dilakukan pada titik tertentu sepanjang
aliran kali yang melalui lingkup RT kami, kemudian program tanam satu pohon
satu pekan untuk penghijauan. Hasilnya, setiap gang di RT kami menjadi sejuk
rindang, bahkan di teras-teras rumah telah terpajang hijau aneka tanaman hias. Dan
pastinya satu kegiatan ‘wajib’ anak-anak pecinta alam, mendaki...
Pendakian
pertama kami ke Gede, begitu menyimpan kenangan yang tak pernah dan tak akan
lupa, kecuali aku terkena amnesia. Dari sekian banyak anak Ranadri hanya
sepuluh kepala yang masuk JAPALARA, aku pembeda dari sembilan jejaka. Saeful adalah
tiketku mendapat ijin dari orang tua untuk mendaki bersama mereka.
“Ning, kamu ibarat anak perawan di
sarang penyamun.” Suara Kak Restu mengantar langkah pertamaku meninggalkan pos
pertama dan hari mulai menuju senja. Sementara jejaka lain sudah setengah jauh
di depan sana.
“Aku lebih merasa jadi Drupadi bersama
para Pandawa, hahaha..”
“Apa yang menjadikanmu kekeuh turut mendaki?”
“Cinta!” jawabku singkat namun
membuat binar mata itu berkilat sesaat,
dan segaris senyum kulihat. Biarlah rasa mengakar sendiri, menyemi rimbun hijau
asa, merekah satu bahagia meski tak pasti kepada siapa sebenarnya, sebab cinta
adalah cinta.
Satu pos lagi, esok pagi kami sampai
di puncak Gede. Sejenak rehat di jalan setapak menanjak, aku luruh terlentang
bersandar ransel Caril yang tinggi panjang. Lima belas langkah diatasku, Saeful
membuka suara..
“Gimana, Ning? Sanggup nggak
kira-kira sampai puncak?”
“Aku pasti lebih dulu melihat
matahari esok pagi!” setengah berteriak suaraku memecah sunyi diantara helaan
nafas terengah dan mataku yang mengatup. Saeful hanya mengekeh. Kesamaan sifat
yang kami miliki membuat aku dan Saeful kerap terlibat perdebatan, aneh bukan?
“Ning, mau kupetikkan bintang?”
seketika suara Kak Restu membuatku membuka mata. Bintang bertaburan di atas
kepala, meski hanya hitam kulihat selain mereka. Gemuruh menyesaki rongga dada,
terhenti semua suara mengumpul pada trakhea. Hingga tak mampu aku berkata, ‘Aku
mencintainya..’ namun hanya isak tertahan yang terdengar, begitu agung rasa itu
tak terbendung, lalu menyisakan sepi dan
suara hutan disaat malam mengiringi kami bergerak menanjak di jalan setapak
menuju puncak.
Sayang... rencana untuk menyaksikan
cahya mentari diawal hari tak terpenuhi, sebab kami tak bisa paksakan untuk
terus mendaki. Dua tenda kami berdiri di pos terakhir menjelang jam tiga dini
hari, merangkum raga yang penat merajut mimpi sesaat.
Mataku mengerjap terbangun dari
tidur yang lelap, sayup kudengar tilawah mendayu dari tenda sebelah, suara Kak
Restu. Kutinggalkan sleeping bag yang beberapa lalu menghangatkanku, bergegas
mempersiapkan dua rokaat mengawali hari yang sudah hampir pagi..kabut mulai
sedikit hilang oleh mentari.
“Setelah sarapan kita berangkat,
mungkin sebelum dhuhur kita sudah mencapai puncak..” Saeful mengulurkan piring
berisi nasi putih dan sardine, aku mengangkat alis.
“Restu yang bilang...lekas sarapan!
Aku juga punya tanggungjawab untuk menjagamu..” sedikit bersungut Saeful duduk
disebelahku. Aku meringis, pun oleh nasi yang kusuap masih terasa keras.
“Hehe..aku tadi yang masak, kurang
air. Bersyukur masih bisa dimakan, nggak ada tukang nasi yang mau naik sampai
sini.”
Aku hampir tersedak sebab tak lama
Saeful berkata, terdengar suara lelaki menjajakan nasi.
“Bah...hebat sekali itu Si Mamang,
jualan nasi sampai sini. Kapan pula dia masaknya!” Kak Iwan yang jawa asli
melogat batak.
“Tahu dia, Ful.. kalau ada bidadari
di sini tak bisa menanak nasi..” gurau Kak Restu saat memberiku segelas kopi. Derai tawa
menghangatkan suasana pagi kami. Hawa segar udara bersih teralir dari tiap
helai rimbun yang menghijau. Mengingatkanku pada bukit desa di setiap fajar
akhir pekan. Kumemandanginya, begitu sempurna kebesaran-Nya. Dari yang terdalam
berbisik suara, ‘Di sini aku merasa semakin aku mencintainya..’
“Jangan lupa, hanya tinggalkan jejak
kalian selama kita mendaki,” sebuah kantong sampah warna hitam sudah setengah
terisi diberikan Kak Restu pada Yudi, sambil menunjuk ke bekas tenda yang
berdiri menjadi tetangga kami dini hari tadi. Disana teronggok plastik-plastik
kemasan minuman instan. Ada ternyata pecinta alam yang demikian rupa.
“Siapa kemarin yang baca mading di
pos pertama? Bisa kalian bayangkan jika benda itu tetap teronggok di situ,
kemudian nanti, esok lusa dan seterusnya tak ada yang memungutnya... maka ia
akan terkubur dengan sendirinya. Dan butuh waktu sangat lama bumi ini untuk
menguraikannya. Ibarat kaki yang menginjak duri dan tertinggal di dalamnya,
kemudian kita membiarkan saja maka terjadilah infeksi..” seolah penjelasan Kak
Restu menanamkan kesadaran pada kami, betapa penting peran kita dalam
menyelamatkan bumi.
Setelah yakin hanya jejak yang kami
tinggalkan, selesai berkemas kami meneruskan langkah menuju puncak. Sebagaimana
kata Kak Restu, lewat sedikit dari waktu dhuhur. Tak ada naungan satupun di
atas kami selain langit yang membentang, namun tak kurasakan panas menyengat.
Hanya hembusan angin dingin sedikit kering, yaa...masih ada hijau perdu meski
tumbuh di bebatuan.
Kelu lidahku, membisu. Pendakianku
yang pertama, menapaki setapak menanjak yang berliku. Melewati jalur terjal
curam berbatu, serasa akan lepas nyawaku. Aku berdiri termangu menatap semua
penjuru, biru hijau dalam pandanganku. Subhanallaah.. maka ni’mat-Mu yang
manakah yang kamu dustakan?!
Luruh tersungkur dalam sujudku
mengguncang bahu. Haruskah setiap orang mendaki hanya untuk melihat keindahan
bumi dan merasakan kebesaran Rabbul ‘izzati. Layak tanamkan di hati, ‘Semaikan
benih dalam diri’. Yaa..benih cinta dalam hati
pada bumi ini. Hingga tak sekedar mendaki untuk pengakuan dan kepuasan
ambisi.
“Ning.. berjamaah dhuhur dulu, lalu
kita turun..” sentuhan di bahuku membuat aku bangkit bersimpuh.
“Aku mencintainya, Ful.. teramat
sangat...”
“Aku tahu.. lekaslah yang lain sudah
menunggu,” diseka bening yang mengalir di pipiku. Dan kami pun takzim dalam
untaian doa sepanjang empat rokaat, mungkin tak lazim bagi orang yang melihat,
di sini... di puncak Gede kami menegakkan sholat.
“Di bawah, sisi sebelah sana Surya Kencana. Kalian tahu Edelweis? Di
sanalah mereka tumbuh subur, mungkin lain kali kita mengunjunginya. Perjalanan
pulang kita, kembali melewati rute kemarin biar lebih cepat. Jangan lupa untuk
membawa sampah yang kita temui sepanjang perjalanan kita..” Kata Kak Restu. Aku
hanya memandangi hamparan hijau kehitaman di bawah sana, surganya bunga
keabadian cinta.
“Yah.. pan kite pengen metik
sekuntum buat bidadari kite, tande cinte abadi, Res..” Kak Iwan kembali
berulah. Bersimpuh menangkupkan kedua tangan kepadaku.
“Beu.. kagak modal, merusak alam!
Cinte abadi.. abadi apenye?! Kagak, ah. Babe kagak setuju ame ni begundal, nyok
ikut babe pulang?” Saeful mendorong Caril Bag di punggungku.
“Pentas tujuh belasan nyicil di
puncak Gede, nih? Nyok, formasi lengkap.. foto dulu sebelum turun, Be..” Yudi
meminta seorang pendaki lain untuk mengambil gambar kami, mungkin menjadi foto
terakhirku mendaki puncak Gede. Dan mungkin aku tak akan pernah bisa
meninggalkan jejak di lembah bunga keabadian cinta, cukup kutitipkan keabadian
cintaku pada tiap kuntum edelweis di bawah sana. Cintaku yang terpendam...
bukan pada siapa-siapa melainkan padanya, bumiku yang kuingin selalu hijau
zamrut katulistiwa.
***
Kilas balik kenangan barusan
terputar setelah menerima selembar foto dari tangan mungil puteriku, ‘Na
-Nisrina Edelweis Sonja-.
Kutularkan
kecintaan pada bumi semenjak dini. Disaat orangtua yang lain melarang anak-anak
mereka bermain dengan tanah karena takut kotor, kubiarkan ‘Na main di kebun
kecil samping rumah kami. Diusianya yang belum genap dua tahun, ‘Na sudah tahu
membuang sampah pada tempat yang terpilah.
Kini
aku justru miris, tinggal di sebuah perkampungan di wilayah timur kota Bandung,
dimana warganya belum sadar akan kebersihan dan kelestarian lingkungan. Mereka
para pribumi terbiasa membuang sampah ditanah kosong yang tak terawat, bahkan
ke lahan kebun yang tanahnya mereka olah.
Di
awal pembangunan rumah yang kini kami tinggali, banyak kutemukan sampah plastik
dalam tanah ketika aku mencangkul untuk mengolah sepetak kecil lahan untuk
kebun. Awalnya aku bertanya-tanya dari mana sampah-sampah ini? Karena sebelum
dibangun rumah, tanah kami adalah kebun yang diolah warga. Duh.. bumiku sejak
kapan engkau terinfeksi? Hingga jawaban kutemukan setelah hampir setahun kami
tinggal.
Disebuah
subuh suamiku hendak berangkat ke masjid dekat rumah, melihat seorang tetangga
yang diam-diam membuang sampah ke calon jalan, samping kebun kosong depan
rumah. Kami tinggal di lingkungan tanah kavling yang masih jarang di bangun
rumah, berseberangan dengan pemukiman warga yang sudah penuh terisi. Dan
sepertinya hal itu salah satu sebab para warga membuang sampah sembarangan,
karena tak ada lahan untuk tempat membakar sampah -nabun-.
“Waduuh..
punten, Mak. Kalau dibuang di situ bisa bau nanti” Ibu yang tinggal di ujung
jalan rumah kami kaget, tak menyadari kehadiran suamiku, “Ah, nggak da..” dan langsung pergi tanpa permisi. Sepulang
dari masjid suamiku mendiskusikan hal itu,
“Gimana
ya.. padahal ada truk sampah komplek yang lewat ngambil seminggu sekali. Apa
iya ibu itu keberatan untuk membayar iurannya. Masa iya sepuluh ribu sebulan
keberatan?” kata beliau.
“Kalau
benar keberatan, mau nggak kalau kita minta ibu itu nitip sampah ke kita. Dia
diminta setengah iurannya, atau kalau masih nggak sanggup.. ya nggak usah
bayar. Yang penting sampah nggak di buang di situ” sahutku sembari memakaikan
baju ‘Na yang habis mandi.
“Nggak
bayar sebenarnya juga nggak apa, Ning. Tapi lihat sendiri produksi sampahnya
segitu banyak, kalau seminggu? Kalau warga yang lain tahu dia nitip sampah ke
kita, nggak kecemburuan sosial tuh...” benar juga, bagaimana solusinya. Dan
solusi belum juga kami temukan ketika makin hari makin menumpuk sampah di
tempat itu, bahkan sekarang bukan hanya satu orang lagi yang membuang sampah di
sana.
Alhasil,
suatu hari satu solusi yang kuanggap mudah adalah membersihkan sampah itu
dengan tanganku sendiri. Kupisah sampah yang bisa dibakar, sampah yang
sekiranya bisa diambil Mamang rongsok, dan sisanya kumasukkan kedalam kantong
sampah jadi satu dengan sampah rumahku.
Dari pagi setelah keberangkatan suamiku ke
kantornya, aku berjibaku dengan cangkul, parang, dan bau sampah. Yaa.. calon
jalan itu memang harus dibersihkan dari rumput dan tanaman perdu agar terlihat
terawat sehingga tak ada orang yang menganggapnya sebagai tempat yang layak
untuk buang sampah. Sementara ‘Na bermain di kebun mungil samping rumah, dimana
aku masih bisa mengawasinya.
“Eleuh-eleuh.. ada tukang sampah cantik. Si
Teteh meuni rajin kerja bakti...”
seorang ibu yang mengasuh dua putra kecilnya menyapa.
“Ini
mah bukan kerja bakti, Bu.. kan saya
sendiri..”
“Ya
kerja bakti atuh, Teh. Kerja untuk berbakti pada lingkungan, kok ya tega sih buang
sampah di sini.” Ternyata ibu itu juga warga pendatang yang membeli rumah
pribumi.
“Ibu
bisa saja, iya nih Bu.. saya sungkan mau menegur atau menghimbau..”
“Iya
sih, Teh.. pengurus RT nya saja nggak
diindahkan omongannya, memang susah berhadapan dengan pemikiran kolot yang
mengedepankan otot..” Si Ibu malah nimbrung ikut membersihkan rumput, sementara
dua putranya sudah bergabung dengan ‘Na di kebun.
“Saya
kok, nggak pernah dengar selentingan
remaja karang taruna, Bu. Pertemuan RT juga baru dua kali, itupun hanya pas mau
pemilihan ketua RT dan ketua RW..”
“Wah,
remaja karang taruna nggak ada, Teh. Suami Teteh saja maju menjadi pembimbing
remaja, toh masih muda...”
“Hehehe..
kuantitas dan kualitas ada, tapi nggak
semudah itu kan, Bu...kami orang baru
di sini, meski sudah menjadi warga nggak berani lancang di wilayah orang..”
“Serba
salah jadinya, Teh..”
“Saya
selalu ingat kata-kata seseorang berkenaan peduli lingkungan ‘Semaikan benih
dalam diri sendiri maka ia akan menyegarkan bumi’.. benarkan, Bu? Jika setiap
kita punya rasa cinta terhadap lingkungan maka
sendirinya akan menjaga dan melestarikannya..”
“Benar,
Teh.. apalagi sekarang sudah marak kegiatan prograam..apa itu, Go Green. Tapi
makin banyak pula orang yang lebih suka membuat tanaman palsu yang terbuat dari
plastik itu, apa ya istilahnya...pokoknya mah mirip seperti pohon beneran,
bagus sih.. tapi tak menghasilkan oksigen kan, Teh..”
“Berarti
kampung kita butuh warga yang ahli dan berani tampil untuk membuat perubahan
terutama mengenai penanganan masalah sampah, Teh. Saya lihat pengaturan
pembuangan air rumah tangga juga tidak benar, dilihat dari got-got yang tak
terurus. Ketika hari hujan baru mereka turun membersihkan selokan karena air
mampet dan menyebabkan banjir.” Lanjut Si Ibu. Hm.. jadi perbincangan menarik,
setidaknya ada juga yang peduli dan sadar lingkungan bersih selainku.
“Sepertinya
sudahan dulu, Bu...sudah siang. Mudah-mudahan yang buang sampah di sini punya
malu untuk meneruskan tindakannya, terimakasih sudah bantu-bantu, terima kasih
juga untuk tukang sampah cantiknya hehehe.... mangga mampir ke rumah, itu anak-anak masih asyik berkebun, ” dan
kami beristirahat di teras rumahku yang segar bernuansa hijau, melepas lelah
dari mengurus sampah. Tak apalah kalau memang harus jadi ‘tukang sampah’, yang
penting sekecil apapun kontribusi yang kuberi dapat menghijaukan bumi di setiap
harinya, tak sebatas satu hari saja di bulan April memperingati hari bumi
sedunia.
Tak
cukup sekedar Go Green, but always keep
and love this green...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar