Silahkan, sugeng rawuh.....monggo lesehan sembari meresapi rangkaian aksara jemariku. Semoga memberikan sesuatu yang bermanfaat ^_^ \/

Kamis, 08 Maret 2012

Love This Green


Oleh : Andar Chan Murasaki

            “Beribu jalan ke Roma, satu jalan ke surga. Sepertinya kata-kata itu sudah tak asing kita dengar, begitu halnya dengan kecintaan kita terhadap bumi ini. Banyak jalan untuk mengalirkan cinta padanya, namun satu jalan yang harus kita tapaki...semaikan benih dalam diri sendiri maka ia akan tumbuh menyegarkan bumi!” tiada lantang suara itu terdengar, namun begitu tertanam di sanubari.
            Adalah awal aku mencintainya, mungkin karena sedari belia aku telah akrab memandanginya. Setiap aku membaui desahnya, maka kesegaran merasuk raga, menjernihkan apa yang gundah, menentramkan segala yang resah. Dahulu, dimasa beliaku, selalu menjumpainya dipagi buta di atas bukit desa. Di sana ketika mentari separuh menebar warna emas jingga, agar tahu betapa kumencintainya, kusuguhkan senyum dengan  mata yang terpejam. Betapa dalam aku menikmati eloknya, meski di usia yang begitu belia.
            “Wening, apa yang kamu semai?” pertanyaan itu memotong telusurku dalam mencintainya.
            “Yang pasti benih cinta...” jawabku disambut derai tawa mereka yang mengaku laki-laki, tak begitu dengan teman-teman gadisku, mereka hanya menyimpannya dalam senyum.
            “Ada saatnya pikiran praktis itu menjerumuskan, ya macam kalian itu...hehehe” kulempar kerlingan pada sekumpulan pejantan di barisan sebelah. Sore itu kami para anggota Ranadri (Karang Taruna Mandiri) yang rata-rata anak SMA, sedang berkumpul di basecamp untuk membicarakan pembentukan kelompok pecinta alam, di salah satu sudut selatan kota Jakarta. Kak Restu yang menjadi ketua ngepasi sebagai mantan anggota pecinta alam dulu di almamater Senior High School, pun setelah selesai kuliah D3, beliau masih aktif menggendong kantong-kantong sampah saat turun gunung.
            “Nggak segitunya kalii...” satu dua orang menyanggah, kujulurkan lidah. Usia kami pada  saat itu sedang membara dalam menapaki setiap masalah.
            “Yaa..maksud saya, aplikasinya...Ning..” bijak bestari Kak Restu meredam suasana.
            Trash or Waste Discipline atau disiplin sampah, jangan sembarangan buang sampah. Kalau perlu dipilah-pilah mana sampah kering, mana sampah basah...”
            “Ya kalau kesiram air plastiknya juga basah, Ning. Basah..basah..basaah...hahaha” Saeful, hobi main bola sepak melucu dengan lagu. Dia Omku sepantar denganku, putra bibiku, saudaraku satu susu.
            “Serius nih...jangan sampai ya, Ful...latihan besok kita jadi lawan. Kalau kejadian, awas tulang kaki depan..” Aku mendelik, Saeful cengar-cengir karena pernah beradu kaki denganku.
            “Kalau bisa kamu jangan lagi ikut latihan sepakbola, konsis saja volleyball dan  basket. Anak perawan ikut-ikutan nendang bola, kalau satu tim sih nggak apa. Lha ini..salah-salah bukan pada merebut bola, rebutan kamu iya...” masih saja dia meledek.
            “Ini paman sama ponakan...fokus, fokus!” Yudi, yang antusias sekali dengan pembentukan kelompok pecinta alam, menghardik lantang. Walau diselingi celoteh yang kesana-kemari maka terbentuklah JAPALARA, Remaja Pecinta ALam Ranadri. Yang memiliki filosofi sebagai mantra atau obat untuk kelestarian alam. Disanalah cintaku padanya semakin menyemi dan membuncah. Kian gemuruh sebab tiada mampu penuh tercurah. Mendekam kupendam laksana kapal karam di dasar samudera kelam.
            Japalara merupakan bentukan dari Sie Lingkungan Hidup Ranadri. Dari situ kami banyak mengadakan kegiatan-kegiatan yang tak lepas dari menjaga kelestarian lingkungan. Mulai dari pengadaan tong sampah terpilah hasil karya anak-anak Ranadri, penyaringan sampah yang dilakukan pada titik  tertentu sepanjang aliran kali yang melalui lingkup RT kami, kemudian program tanam satu pohon satu pekan untuk penghijauan. Hasilnya, setiap gang di RT kami menjadi sejuk rindang, bahkan di teras-teras rumah telah terpajang hijau aneka tanaman hias. Dan pastinya satu kegiatan ‘wajib’ anak-anak pecinta alam, mendaki...
Pendakian pertama kami ke Gede, begitu menyimpan kenangan yang tak pernah dan tak akan lupa, kecuali aku terkena amnesia. Dari sekian banyak anak Ranadri hanya sepuluh kepala yang masuk JAPALARA, aku pembeda dari sembilan jejaka. Saeful adalah tiketku mendapat ijin dari orang tua untuk mendaki bersama mereka.
            “Ning, kamu ibarat anak perawan di sarang penyamun.” Suara Kak Restu mengantar langkah pertamaku meninggalkan pos pertama dan hari mulai menuju senja. Sementara jejaka lain sudah setengah jauh di depan sana.
            “Aku lebih merasa jadi Drupadi bersama para Pandawa, hahaha..”
            “Apa yang menjadikanmu kekeuh turut mendaki?”
            “Cinta!” jawabku singkat namun membuat binar mata itu  berkilat sesaat, dan segaris senyum kulihat. Biarlah rasa mengakar sendiri, menyemi rimbun hijau asa, merekah satu bahagia meski tak pasti kepada siapa sebenarnya, sebab cinta adalah cinta.
            Satu pos lagi, esok pagi kami sampai di puncak Gede. Sejenak rehat di jalan setapak menanjak, aku luruh terlentang bersandar ransel Caril yang tinggi panjang. Lima belas langkah diatasku, Saeful membuka suara..
            “Gimana, Ning? Sanggup nggak kira-kira sampai puncak?”
            “Aku pasti lebih dulu melihat matahari esok pagi!” setengah berteriak suaraku memecah sunyi diantara helaan nafas terengah dan mataku yang mengatup. Saeful hanya mengekeh. Kesamaan sifat yang kami miliki membuat aku dan Saeful kerap terlibat perdebatan, aneh bukan?
            “Ning, mau kupetikkan bintang?” seketika suara Kak Restu membuatku membuka mata. Bintang bertaburan di atas kepala, meski hanya hitam kulihat selain mereka. Gemuruh menyesaki rongga dada, terhenti semua suara mengumpul pada trakhea. Hingga tak mampu aku berkata, ‘Aku mencintainya..’ namun hanya isak tertahan yang terdengar, begitu agung rasa itu tak terbendung, lalu  menyisakan sepi dan suara hutan disaat malam mengiringi kami bergerak menanjak di jalan setapak menuju puncak.
            Sayang... rencana untuk menyaksikan cahya mentari diawal hari tak terpenuhi, sebab kami tak bisa paksakan untuk terus mendaki. Dua tenda kami berdiri di pos terakhir menjelang jam tiga dini hari, merangkum raga yang penat merajut mimpi sesaat.
            Mataku mengerjap terbangun dari tidur yang lelap, sayup kudengar tilawah mendayu dari tenda sebelah, suara Kak Restu. Kutinggalkan sleeping bag yang beberapa lalu menghangatkanku, bergegas mempersiapkan dua rokaat mengawali hari yang sudah hampir pagi..kabut mulai sedikit hilang oleh mentari.
            “Setelah sarapan kita berangkat, mungkin sebelum dhuhur kita sudah mencapai puncak..” Saeful mengulurkan piring berisi nasi putih dan sardine, aku mengangkat alis.
            “Restu yang bilang...lekas sarapan! Aku juga punya tanggungjawab untuk menjagamu..” sedikit bersungut Saeful duduk disebelahku. Aku meringis, pun oleh nasi yang kusuap masih terasa keras.
            “Hehe..aku tadi yang masak, kurang air. Bersyukur masih bisa dimakan, nggak ada tukang nasi yang mau naik sampai sini.”
            Aku hampir tersedak sebab tak lama Saeful berkata, terdengar suara lelaki menjajakan nasi.
            “Bah...hebat sekali itu Si Mamang, jualan nasi sampai sini. Kapan pula dia masaknya!” Kak Iwan yang jawa asli melogat batak.
            “Tahu dia, Ful.. kalau ada bidadari di sini tak bisa menanak nasi..” gurau Kak Restu  saat memberiku segelas kopi. Derai tawa menghangatkan suasana pagi kami. Hawa segar udara bersih teralir dari tiap helai rimbun yang menghijau. Mengingatkanku pada bukit desa di setiap fajar akhir pekan. Kumemandanginya, begitu sempurna kebesaran-Nya. Dari yang terdalam berbisik suara, ‘Di sini aku merasa semakin aku mencintainya..’
            “Jangan lupa, hanya tinggalkan jejak kalian selama kita mendaki,” sebuah kantong sampah warna hitam sudah setengah terisi diberikan Kak Restu pada Yudi, sambil menunjuk ke bekas tenda yang berdiri menjadi tetangga kami dini hari tadi. Disana teronggok plastik-plastik kemasan minuman instan. Ada ternyata pecinta alam yang demikian rupa.
            “Siapa kemarin yang baca mading di pos pertama? Bisa kalian bayangkan jika benda itu tetap teronggok di situ, kemudian nanti, esok lusa dan seterusnya tak ada yang memungutnya... maka ia akan terkubur dengan sendirinya. Dan butuh waktu sangat lama bumi ini untuk menguraikannya. Ibarat kaki yang menginjak duri dan tertinggal di dalamnya, kemudian kita membiarkan saja maka terjadilah infeksi..” seolah penjelasan Kak Restu menanamkan kesadaran pada kami, betapa penting peran kita dalam menyelamatkan bumi.
            Setelah yakin hanya jejak yang kami tinggalkan, selesai berkemas kami meneruskan langkah menuju puncak. Sebagaimana kata Kak Restu, lewat sedikit dari waktu dhuhur. Tak ada naungan satupun di atas kami selain langit yang membentang, namun tak kurasakan panas menyengat. Hanya hembusan angin dingin sedikit kering, yaa...masih ada hijau perdu meski tumbuh di bebatuan.
            Kelu lidahku, membisu. Pendakianku yang pertama, menapaki setapak menanjak yang berliku. Melewati jalur terjal curam berbatu, serasa akan lepas nyawaku. Aku berdiri termangu menatap semua penjuru, biru hijau dalam pandanganku. Subhanallaah.. maka ni’mat-Mu yang manakah yang kamu dustakan?!
            Luruh tersungkur dalam sujudku mengguncang bahu. Haruskah setiap orang mendaki hanya untuk melihat keindahan bumi dan merasakan kebesaran Rabbul ‘izzati. Layak tanamkan di hati, ‘Semaikan benih dalam diri’. Yaa..benih cinta dalam hati  pada bumi ini. Hingga tak sekedar mendaki untuk pengakuan dan kepuasan ambisi.
            “Ning.. berjamaah dhuhur dulu, lalu kita turun..” sentuhan di bahuku membuat aku bangkit bersimpuh.
            “Aku mencintainya, Ful.. teramat sangat...”
            “Aku tahu.. lekaslah yang lain sudah menunggu,” diseka bening yang mengalir di pipiku. Dan kami pun takzim dalam untaian doa sepanjang empat rokaat, mungkin tak lazim bagi orang yang melihat, di sini... di puncak Gede kami menegakkan sholat.
            “Di bawah, sisi sebelah  sana Surya Kencana. Kalian tahu Edelweis? Di sanalah mereka tumbuh subur, mungkin lain kali kita mengunjunginya. Perjalanan pulang kita, kembali melewati rute kemarin biar lebih cepat. Jangan lupa untuk membawa sampah yang kita temui sepanjang perjalanan kita..” Kata Kak Restu. Aku hanya memandangi hamparan hijau kehitaman di bawah sana, surganya bunga keabadian cinta.
            “Yah.. pan kite pengen metik sekuntum buat bidadari kite, tande cinte abadi, Res..” Kak Iwan kembali berulah. Bersimpuh menangkupkan kedua tangan kepadaku.
            “Beu.. kagak modal, merusak alam! Cinte abadi.. abadi apenye?! Kagak, ah. Babe kagak setuju ame ni begundal, nyok ikut babe pulang?” Saeful mendorong Caril Bag di punggungku.
            “Pentas tujuh belasan nyicil di puncak Gede, nih? Nyok, formasi lengkap.. foto dulu sebelum turun, Be..” Yudi meminta seorang pendaki lain untuk mengambil gambar kami, mungkin menjadi foto terakhirku mendaki puncak Gede. Dan mungkin aku tak akan pernah bisa meninggalkan jejak di lembah bunga keabadian cinta, cukup kutitipkan keabadian cintaku pada tiap kuntum edelweis di bawah sana. Cintaku yang terpendam... bukan pada siapa-siapa melainkan padanya, bumiku yang kuingin selalu hijau zamrut katulistiwa.
***
            Kilas balik kenangan barusan terputar setelah menerima selembar foto dari tangan mungil puteriku, ‘Na -Nisrina Edelweis Sonja-.
Kutularkan kecintaan pada bumi semenjak dini. Disaat orangtua yang lain melarang anak-anak mereka bermain dengan tanah karena takut kotor, kubiarkan ‘Na main di kebun kecil samping rumah kami. Diusianya yang belum genap dua tahun, ‘Na sudah tahu membuang sampah pada tempat yang terpilah.
Kini aku justru miris, tinggal di sebuah perkampungan di wilayah timur kota Bandung, dimana warganya belum sadar akan kebersihan dan kelestarian lingkungan. Mereka para pribumi terbiasa membuang sampah ditanah kosong yang tak terawat, bahkan ke lahan kebun yang tanahnya mereka olah.
Di awal pembangunan rumah yang kini kami tinggali, banyak kutemukan sampah plastik dalam tanah ketika aku mencangkul untuk mengolah sepetak kecil lahan untuk kebun. Awalnya aku bertanya-tanya dari mana sampah-sampah ini? Karena sebelum dibangun rumah, tanah kami adalah kebun yang diolah warga. Duh.. bumiku sejak kapan engkau terinfeksi? Hingga jawaban kutemukan setelah hampir setahun kami tinggal.
Disebuah subuh suamiku hendak berangkat ke masjid dekat rumah, melihat seorang tetangga yang diam-diam membuang sampah ke calon jalan, samping kebun kosong depan rumah. Kami tinggal di lingkungan tanah kavling yang masih jarang di bangun rumah, berseberangan dengan pemukiman warga yang sudah penuh terisi. Dan sepertinya hal itu salah satu sebab para warga membuang sampah sembarangan, karena tak ada lahan untuk tempat membakar sampah -nabun-.
“Waduuh.. punten, Mak. Kalau dibuang di situ bisa bau nanti” Ibu yang tinggal di ujung jalan rumah kami kaget, tak menyadari kehadiran suamiku, “Ah, nggak da..” dan langsung pergi tanpa permisi. Sepulang dari masjid suamiku mendiskusikan hal itu,
“Gimana ya.. padahal ada truk sampah komplek yang lewat ngambil seminggu sekali. Apa iya ibu itu keberatan untuk membayar iurannya. Masa iya sepuluh ribu sebulan keberatan?” kata beliau.
“Kalau benar keberatan, mau nggak kalau kita minta ibu itu nitip sampah ke kita. Dia diminta setengah iurannya, atau kalau masih nggak sanggup.. ya nggak usah bayar. Yang penting sampah nggak di buang di situ” sahutku sembari memakaikan baju ‘Na yang habis mandi.
“Nggak bayar sebenarnya juga nggak apa, Ning. Tapi lihat sendiri produksi sampahnya segitu banyak, kalau seminggu? Kalau warga yang lain tahu dia nitip sampah ke kita, nggak kecemburuan sosial tuh...” benar juga, bagaimana solusinya. Dan solusi belum juga kami temukan ketika makin hari makin menumpuk sampah di tempat itu, bahkan sekarang bukan hanya satu orang lagi yang membuang sampah di sana.
Alhasil, suatu hari satu solusi yang kuanggap mudah adalah membersihkan sampah itu dengan tanganku sendiri. Kupisah sampah yang bisa dibakar, sampah yang sekiranya bisa diambil Mamang rongsok, dan sisanya kumasukkan kedalam kantong sampah jadi satu dengan sampah rumahku.
 Dari pagi setelah keberangkatan suamiku ke kantornya, aku berjibaku dengan cangkul, parang, dan bau sampah. Yaa.. calon jalan itu memang harus dibersihkan dari rumput dan tanaman perdu agar terlihat terawat sehingga tak ada orang yang menganggapnya sebagai tempat yang layak untuk buang sampah. Sementara ‘Na bermain di kebun mungil samping rumah, dimana aku masih bisa mengawasinya.
Eleuh-eleuh.. ada tukang sampah cantik. Si Teteh meuni rajin kerja bakti...” seorang ibu yang mengasuh dua putra kecilnya menyapa.
“Ini mah bukan kerja bakti, Bu.. kan saya sendiri..”
“Ya kerja bakti atuh, Teh. Kerja untuk berbakti pada lingkungan, kok ya tega sih buang sampah di sini.” Ternyata ibu itu juga warga pendatang yang membeli rumah pribumi.
“Ibu bisa saja, iya nih Bu.. saya sungkan mau menegur atau menghimbau..”
“Iya sih, Teh.. pengurus RT nya saja nggak diindahkan omongannya, memang susah berhadapan dengan pemikiran kolot yang mengedepankan otot..” Si Ibu malah nimbrung ikut membersihkan rumput, sementara dua putranya sudah bergabung dengan ‘Na di kebun.
“Saya kok, nggak pernah dengar selentingan remaja karang taruna, Bu. Pertemuan RT juga baru dua kali, itupun hanya pas mau pemilihan ketua RT dan ketua RW..”
“Wah, remaja karang taruna nggak ada, Teh. Suami Teteh saja maju menjadi pembimbing remaja, toh masih muda...”
“Hehehe.. kuantitas dan kualitas ada,  tapi nggak semudah itu kan, Bu...kami orang baru di sini, meski sudah menjadi warga nggak berani lancang di wilayah orang..”
“Serba salah jadinya, Teh..”
“Saya selalu ingat kata-kata seseorang berkenaan peduli lingkungan ‘Semaikan benih dalam diri sendiri maka ia akan menyegarkan bumi’.. benarkan, Bu? Jika setiap kita punya rasa cinta terhadap lingkungan maka  sendirinya akan menjaga dan melestarikannya..”
“Benar, Teh.. apalagi sekarang sudah marak kegiatan prograam..apa itu, Go Green. Tapi makin banyak pula orang yang lebih suka membuat tanaman palsu yang terbuat dari plastik itu, apa ya istilahnya...pokoknya mah mirip seperti pohon beneran, bagus sih.. tapi tak menghasilkan oksigen kan, Teh..”
“Berarti kampung kita butuh warga yang ahli dan berani tampil untuk membuat perubahan terutama mengenai penanganan masalah sampah, Teh. Saya lihat pengaturan pembuangan air rumah tangga juga tidak benar, dilihat dari got-got yang tak terurus. Ketika hari hujan baru mereka turun membersihkan selokan karena air mampet dan menyebabkan banjir.” Lanjut Si Ibu. Hm.. jadi perbincangan menarik, setidaknya ada juga yang peduli dan sadar lingkungan bersih selainku.
“Sepertinya sudahan dulu, Bu...sudah siang. Mudah-mudahan yang buang sampah di sini punya malu untuk meneruskan tindakannya, terimakasih sudah bantu-bantu, terima kasih juga untuk tukang sampah cantiknya hehehe.... mangga mampir ke rumah, itu anak-anak masih asyik berkebun, ” dan kami beristirahat di teras rumahku yang segar bernuansa hijau, melepas lelah dari mengurus sampah. Tak apalah kalau memang harus jadi ‘tukang sampah’, yang penting sekecil apapun kontribusi yang kuberi dapat menghijaukan bumi di setiap harinya, tak sebatas satu hari saja di bulan April memperingati hari bumi sedunia.
Tak cukup sekedar Go Green, but always keep and  love this green...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar