Silahkan, sugeng rawuh.....monggo lesehan sembari meresapi rangkaian aksara jemariku. Semoga memberikan sesuatu yang bermanfaat ^_^ \/

Selasa, 29 Mei 2012

Anggaplah Sebagai Kesempatan Kedua (Dengan Cara-Nya Yang Indah)


Oleh : Andary Witjaksono

            Tidak semua orang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, terlepas dari jalan seperti apa, ada kuasa Sang Pencipta dibaliknya. Terkadang seseorang menjadi cepat berprasangka bahwa ia tidak akan mendapatkan kesempatan kedua.
            Dulu aku juga menganggap bahwa semuanya sudah lewat.
Berakhir sudah semua cita-citaku untuk dapat menjadi mahasiswa atau kuliah. Sampai-sampai aku memendam dendam dan menyalahkan orang tua, karena tidak bisa melanjutkan pendidikan selepas SMA.
            Kehidupan kampus yang sudah ku gadang-gadang hanya tinggal angan, mimpi yang tak terwujud. Tapi bukankah sebuah mimpi indah telah memberikan kita perasaan bahagia, meskipun saat terjaga semuanya menghilang entah kemana?
            Namun begitu, aku benar-benar berpikiran sempit, bahwa aku tidak akan pernah mengecap bangku kuliah. Menjadi seorang mahasiswa, dimasa itu merupakan hal yang membanggakan bagiku. Setiap apa yang mereka sampaikan seolah menjadi sebuah panutan dan kebenaran mutlak, selayaknyalah sebab mereka sudah menyandang gelar mahasiswa. Pendidikannya tinggi, ilmunya sudah mumpuni. Dan dari penampilan mereka itu begitu kerennya (hehe… itu penggambaranku tentang mahasiswa yang sedang KKN –Kuliah Kerja Nyata- di kampungku ketika aku masih mengenakan seragam merah putih).
            Apalagi dengan kegiatan unit mahasiswanya, terutama Mapala. Wow, pokoknya mahasiswa yang masuk Mapala adalah manusia-manusia tangguh dan super duper kerennya. Mungkin waktu itu aku tidak tahu kalau ternyata mereka jarang-jarang mandi kalau sedang naik gunung, hahaha…
            Mengenai keinginanku untuk kuliah, sejak di bangku SMP aku mengincar perguruan tinggi yang memiliki jurusan sastra dan seni. Selain karena kegemaranku menulis aku terinspirasi oleh kepiawaian seorang Soekarno yang menguasai sepuluh bahasa asing di dunia, begitulah pelajaran yang kudapatkan di bangku sekolah dasar. Sedangkan jurusan seni, aku memilihnya karena sejalan dengan hobiku yang suka ‘coret-coret’ dan kekagumanku pada Raden Saleh (1807-1880) seorang pelukis –yang juga seorang arsitek handal- dari Indonesia yang terkenal dengan salah satu lukisannya ‘Penangkapan Pangeran Diponegoro’.
Oleh karena itu IKJ (Institut Kesenian Jakarta), ABA (Akademi Bahasa Asing), dan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) -sekarang ISI- merupakan urutan pertama dalam daftar perguruan impianku. Tapi impian tinggal impian, karena faktor ekonomi keluarga saat itu sedang kacau balau. Bagiku semua cita-cita berhenti sampai di situ, dan tak akan ada lagi kesempatan untuk meraihnya.
Aku tahu, bukan salah orang tuaku jika hal itu terjadi, hanya keegoisan dan kementahan jiwaku menjadikan dendam mendekam. Namun sebenarnya bukanlah dendam menuju kerusakan, sebab dendamku adalah sebuah azzam –tekad-…
“Oke, lihat saja. Suatu kelak semua yang kuimpikan pasti dapat kuraih, meski tanpa menjadi seorang mahasiswa!” gemuruhku hanya aku yang tahu. Hingga akhirnya kepergianku ke kota metropolitan disertai sikap nekat bin kekeuh memberikan kesempatan untuk berbaur dalam beberapa kegiatan kampus. Tempat tinggalku memang dekat dengan beberapa perguruan tinggi. Ditambah postur tubuh dan muka innocent yang kerap kali dikira anak sekolahan, memberikan satu kemudahan tersendiri dalam ‘aksi penyusupan’ J
Pernah aku bergabung dalam sebuah pelatihan yang diadakan oleh mahasiswa jurnalistik dari sebuah institut  ilmu sosial dan politik, yang dikemas dengan acara rihlah (piknik atau jalan-jalan) dan camping. Bukankah ilmu jurnalistik masih berkaitan dengan kepenulisan? Terutama untuk jurusan media cetak.
Lain waktu aku mendirikan tenda bersama anak-anak Gudep dari SMP sepupuku, demi ‘menuntaskan’ dan mengenang kembali masa-masa pramuka yang ‘terbengkalai’ semasa sekolah dulu. Padahal usiaku sudah hampir seperempat abad ketika itu, bisa ikut nimbrung bersama beberapa pelajar ‘cinta monyet’.
Kekecewaanku akan urung menjadi anggota Mapala  pun terbayar sudah dengan bergabungnya aku menjadi anggota Japalara, kelompok remaja pecinta alam dari sebuah organisasi kepemudaan di wilayah tempat tinggalku.
“Wahh! Keren, keren… ternyata beginilah rasanya naik gunung, exciting!! Burn my soul!!” aku melepaskan kegembiraan yang membuncah, saat mencapai puncak Gede. Setelah berdebar-debar sepanjang perjalanan mulai dari rumah sampai sepanjang perjalanan pendakian, memikirkan tentang bagaimana perjalanan kami nanti. Itu adalah pendakianku yang pertama.
“Seru kan? Next time kita ke puncak Lawu, mau ikut?” seorang senior menghampiriku.
“Siip. Aku baru tahu kalau Hiker tuh rata-rata nggak jauh beda sama bebek,” sahutku.
“Kok bisa?! Masa’ pejantan tangguh gini disamain bebek…” ia menaut alis.
“Coba perhatiin, bebek itu kalau mandi cuma nyelup-nyelup leher dan kepalanya saja kan? Sama seperti kita, basuh muka dan menyeka leher doang. Itupun kalau pas ketemu air, kalau nggak ya bukan bebek lagi, tapi mbek hahaha...” kami melepas tawa yang akhirnya diterbangkan hembusan angin kering di puncak Gede.
Namun masih saja ‘dendam’ kegagalan meraih cita-cita untuk masuk bangku kuliah belum sirna. Aku masih giat menanti celah, kapan kesempatan itu akan tiba. Sementara usia tak lagi muda, pastinya peluang menjadi mahasiswa umum semakin langka. Memang bukan suatu masalah, toh banyak orang-orang berumur yang masih menekuni meja kuliah, tapi kan sudah ‘S’ berapa? Sementara aku, masa’ sudah tua kuliah di semester pertama, hehehe…
Akhirnya, suatu ketika kesempatan datang juga. Bertepatan dengan ‘kabur’nya aku ke Solo, sebuah lembaga pelatihan menggelar studi broadcast kepenyiaran radio dengan embel-embel setara D3. Kuanggap mengikuti kelas broadcast di sana sebagai kesempatan kedua, pengganti kesempatanku gagal untuk kuliah. Bukankah di IKJ juga mempelajari ilmu broadcast?
Meski dengan biaya yang hampir-hampir mepet setiap waktu pembayaran hasil jual kambing, aku berusaha tekun datang pada jadwal ‘perkuliahan’. Menempuh jarak ratusan kilo, dalam guyuran hujan, bahkan pulang kemalaman nggak dapat kendaraan umum, semua kujalani untuk mendapatkan ilmu yang menjadi bagian dari sebuah mimpi, mimpi yang kunamai cita-cita.
Disaat yang sama aku juga bergabung pada sebuah Diklat yang diadakan sebuah Yayasan pendidikan ternama, menggeluti bidang Kriya Kayu –merupakan salah satu program studi di Fakultas Seni Rupa dan Disain, IKJ-. Diantaranya mempelajari seni mengukir.
“Mbak, ini nanti prakteknya berat lho. Kalau misal pas PKL (Praktek Kerja Lapangan) panjenengan diminta ngangkati balok atau glondongan, apa kuat? Daftar yang tata busana saja, lagipula ini nggak ada peserta putrinya, Mbak” Seorang panitia pendaftaran memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung rambut.
“Waduh, Pak. Kalau saya mau Tata Busana pasti saya tidak mendaftar di Kriya Kayu. Saya mau belajar mengukir, bukan belajar menjahit. Kalau di kriya belum ada putrinya biar saya yang jadi princess, kalau hanya masalah kuat nggak kuat mengangkat glondongan, jangan khawatir, Pak… saya ikutan beladiri kok, hehehe…” Aku kekeuh dengan pilhanku, alhasil masuk juga aku pada Diklat Kriya Kayu dihari terakhir pendaftaran, karena informasi yang kudapat juga telat. Ajaibnya kursi yang tersedia tinggal satu-satunya dari jumlah kuota. So, it’s my chance
Di hari pertama penentuan jadual pelajaran dan kelompok pun aku harus berjibaku mengatur waktu, karena jadual ‘kuliah‘ broadcast bentrok dengan jam terakhir Diklat Kriya. Sementara aku harus menempuh perjalanan kurang lebih satu jam untuk mencapai ‘Zigma Intercourse Campus’ –begitu aku menyebutnya-.
“Maaf, Pak. Boleh saya keluar duluan, saya ada sekolah juga di Solo, nanti saya hubungi pembimbing untuk mendapatkan jadualnya, please…” kupasang tampang memelas.
“Sekolah apa lagi? Jangan-jangan ‘nyeleneh’ juga buat perempuan,” Bapak guru yang masih bujang, salah seorang  pemateri praktek mengukir balik bertanya, sembari senyum-senyum, meledek? J
“Adaa deh, daerah Jagalan. Oke, Pak?” aku tertawa.
“Apa Universitas Indonesia Muda, Mbak?” Tanya seorang teman anggota diklat. Aku menggeleng.
Yo wis kono! Tahu trayeknya nggak? Jangan nyasar orangtuanya jauh...” hehe pak guru bisa saja.
“Tenang, Pak. Saya penganut slogan ‘malu bertanya sesat sendiri’, baiklah... sampai ketemu besok siang mas-mas yang ganteng.. hehe” aku meninggalkan aula sebuah SMK tempat diklat Kriya diadakan. Telingaku sempat menangkap sebuah suara salah satu teman,
“Cewek aneh.. “
“Bin unik meski kurang cantik.” Tawa renyah terdengar sesudahnya. Let it go.. hahaha… that’s  me.
Sama halnya di kelas broadcast, aku adalah siswa tertua kedua setelah seorang ibu guru SMP berputra dua. Lainnya adalah fresh graduate dari sekolahnya, ada juga beberapa dari mereka masih duduk di semester akhir seragam putih abu-abu dan segelintir mahasiswa dalam arti sebenarnya, ingin juga mencari tambahan ilmu di luar kampus perguruan mereka.
Dari diklat kriya kayu aku mendapat tugas PKL  di sebuah perusahaan meubel yang mengolah produknya dari bahan mentah hingga menjadi produk siap pasar. Sebuah kesempatan bagus, belum tentu jika aku melamar kerja di sana aku bisa diterima.
Begitupun di kelas broadcast kami para siswa mendapat program magang di stasiun-stasiun radio, sekali lagi hal itu merupakan kesempatan emas untukku. Bisa jadi pengalaman dan kesempatan untuk cuap-cuap di radio sebagai penyiar, ketika itu merupakan hal yang keren. Bahkan sekarangpun dunia kepenyiaran semakin diminati banyak orang, terutama para remaja.
Sedangkan dengan hobi menulisku, tidak jadi apa aku tidak kuliah di fakultas sastra. Meski sekarang aku seorang ibu, kini aku tergabung dalam sebuah forum kepenulisan, setidaknya sedikit banyak aku belajar tentang sastra meski secara garis besarnya.
Ditilik dari umur, tidak ada batasan usia untuk mendapatkan kesempatan kedua. Selama kita mau berusaha, Tuhan tidak akan menjadikan usaha kita sia-sia.
Seiring dengan kematangan jiwa, dendam terpendamku meluntur sudah. Bukan berarti tamat kehidupan ataupun tidak menjadi apa-apa bahkan siapa-siapa meski gagal kuliah.
Selagi nafas masih berhembus, kesehatan menyertai, tekad kuat menopang diri, maka tak ada yang tak mungkin. Kesempatan selalu ada dan akan datang, kalaupun ada yang mengatakan ‘kesempatan tak datang dua kali’, bagiku hanya sebagai satu motivasi.
Tak ada rotan akarpun jadi, mungkin pepatah itu lebih pas buatku. Cita-cita kuliah di IKJ atau ASRI tak tercapai, Yang Maha Menentukan memberiku kesempatan untuk mempelajari ilmu dan menimba pengalaman dengan jalan lain. Melalui cara-Nya yang indah, kudapatkan kesempatan kedua.
Ya, anggaplah itu sebagai kesempatan kedua bagiku dalam mencari ilmu. Namun ketika kesempatan pertama datang, manfaatkan dengan sebaik-baiknya, jangan menunggu atau berharap dengan adanya kesempatan kedua atau kesempatan berikutnya. Gagal bukan berarti kalah, kegagalan adalah kemenangan yang tertunda, pameo satu ini layak bersanding dengan pepatah ‘selalu ada kesempatan kedua’, semangat!! J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar