Oleh : Andary Witjaksono
Tidak semua orang selalu mendapatkan
apa yang diinginkannya, terlepas dari jalan seperti apa, ada kuasa Sang Pencipta
dibaliknya. Terkadang seseorang menjadi cepat berprasangka bahwa ia tidak akan
mendapatkan kesempatan kedua.
Dulu aku juga menganggap bahwa
semuanya sudah lewat.
Berakhir sudah semua cita-citaku untuk dapat menjadi mahasiswa atau kuliah. Sampai-sampai aku memendam dendam dan menyalahkan orang tua, karena tidak bisa melanjutkan pendidikan selepas SMA.
Berakhir sudah semua cita-citaku untuk dapat menjadi mahasiswa atau kuliah. Sampai-sampai aku memendam dendam dan menyalahkan orang tua, karena tidak bisa melanjutkan pendidikan selepas SMA.
Kehidupan kampus yang sudah ku gadang-gadang hanya tinggal angan, mimpi
yang tak terwujud. Tapi bukankah sebuah mimpi indah telah memberikan kita
perasaan bahagia, meskipun saat terjaga semuanya menghilang entah kemana?
Namun begitu, aku benar-benar
berpikiran sempit, bahwa aku tidak akan pernah mengecap bangku kuliah. Menjadi
seorang mahasiswa, dimasa itu merupakan hal yang membanggakan bagiku. Setiap
apa yang mereka sampaikan seolah menjadi sebuah panutan dan kebenaran mutlak,
selayaknyalah sebab mereka sudah menyandang gelar mahasiswa. Pendidikannya
tinggi, ilmunya sudah mumpuni. Dan dari penampilan mereka itu begitu kerennya (hehe…
itu penggambaranku tentang mahasiswa yang sedang KKN –Kuliah Kerja Nyata- di
kampungku ketika aku masih mengenakan seragam merah putih).
Apalagi dengan kegiatan unit
mahasiswanya, terutama Mapala. Wow, pokoknya mahasiswa yang masuk Mapala adalah
manusia-manusia tangguh dan super duper kerennya. Mungkin waktu itu aku tidak
tahu kalau ternyata mereka jarang-jarang mandi kalau sedang naik gunung,
hahaha…
Mengenai
keinginanku untuk kuliah, sejak di bangku SMP aku mengincar perguruan tinggi yang
memiliki jurusan sastra dan seni. Selain karena kegemaranku menulis aku
terinspirasi oleh kepiawaian seorang Soekarno yang menguasai sepuluh bahasa
asing di dunia, begitulah pelajaran yang kudapatkan di bangku sekolah dasar.
Sedangkan jurusan seni, aku memilihnya karena sejalan dengan hobiku yang suka
‘coret-coret’ dan kekagumanku pada Raden Saleh (1807-1880) seorang pelukis
–yang juga seorang arsitek handal- dari Indonesia yang terkenal dengan salah
satu lukisannya ‘Penangkapan Pangeran Diponegoro’.
Oleh
karena itu IKJ (Institut Kesenian Jakarta), ABA (Akademi Bahasa Asing), dan
ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) -sekarang ISI- merupakan urutan pertama
dalam daftar perguruan impianku. Tapi impian tinggal impian, karena faktor
ekonomi keluarga saat itu sedang kacau balau. Bagiku semua cita-cita berhenti
sampai di situ, dan tak akan ada lagi kesempatan untuk meraihnya.
Aku
tahu, bukan salah orang tuaku jika hal itu terjadi, hanya keegoisan dan
kementahan jiwaku menjadikan dendam mendekam. Namun sebenarnya bukanlah dendam
menuju kerusakan, sebab dendamku adalah sebuah azzam –tekad-…
“Oke,
lihat saja. Suatu kelak semua yang kuimpikan pasti dapat kuraih, meski tanpa
menjadi seorang mahasiswa!” gemuruhku hanya aku yang tahu. Hingga akhirnya
kepergianku ke kota metropolitan disertai sikap nekat bin kekeuh memberikan kesempatan untuk berbaur dalam beberapa kegiatan
kampus. Tempat tinggalku memang dekat dengan beberapa perguruan tinggi.
Ditambah postur tubuh dan muka innocent
yang kerap kali dikira anak sekolahan, memberikan satu kemudahan tersendiri
dalam ‘aksi penyusupan’ J
Pernah
aku bergabung dalam sebuah pelatihan yang diadakan oleh mahasiswa jurnalistik
dari sebuah institut ilmu sosial dan
politik, yang dikemas dengan acara rihlah (piknik atau jalan-jalan) dan
camping. Bukankah ilmu jurnalistik masih berkaitan dengan kepenulisan? Terutama
untuk jurusan media cetak.
Lain
waktu aku mendirikan tenda bersama anak-anak Gudep dari SMP sepupuku, demi
‘menuntaskan’ dan mengenang kembali masa-masa pramuka yang ‘terbengkalai’
semasa sekolah dulu. Padahal usiaku sudah hampir seperempat abad ketika itu,
bisa ikut nimbrung bersama beberapa pelajar ‘cinta monyet’.
Kekecewaanku
akan urung menjadi anggota Mapala pun
terbayar sudah dengan bergabungnya aku menjadi anggota Japalara, kelompok
remaja pecinta alam dari sebuah organisasi kepemudaan di wilayah tempat
tinggalku.
“Wahh!
Keren, keren… ternyata beginilah rasanya naik gunung, exciting!! Burn my soul!!”
aku melepaskan kegembiraan yang membuncah, saat mencapai puncak Gede. Setelah
berdebar-debar sepanjang perjalanan mulai dari rumah sampai sepanjang
perjalanan pendakian, memikirkan tentang bagaimana perjalanan kami nanti. Itu
adalah pendakianku yang pertama.
“Seru
kan? Next time kita ke puncak Lawu,
mau ikut?” seorang senior menghampiriku.
“Siip.
Aku baru tahu kalau Hiker tuh rata-rata nggak jauh beda sama
bebek,” sahutku.
“Kok
bisa?! Masa’ pejantan tangguh gini disamain bebek…” ia menaut alis.
“Coba
perhatiin, bebek itu kalau mandi cuma nyelup-nyelup leher dan kepalanya saja kan? Sama seperti kita, basuh muka dan
menyeka leher doang. Itupun kalau pas
ketemu air, kalau nggak ya bukan bebek lagi, tapi mbek hahaha...” kami melepas
tawa yang akhirnya diterbangkan hembusan angin kering di puncak Gede.
Namun
masih saja ‘dendam’ kegagalan meraih cita-cita untuk masuk bangku kuliah belum
sirna. Aku masih giat menanti celah, kapan kesempatan itu akan tiba. Sementara
usia tak lagi muda, pastinya peluang menjadi mahasiswa umum semakin langka.
Memang bukan suatu masalah, toh banyak orang-orang berumur yang masih menekuni
meja kuliah, tapi kan sudah ‘S’ berapa? Sementara aku, masa’ sudah tua kuliah
di semester pertama, hehehe…
Akhirnya,
suatu ketika kesempatan datang juga. Bertepatan dengan ‘kabur’nya aku ke Solo,
sebuah lembaga pelatihan menggelar studi broadcast
kepenyiaran radio dengan embel-embel setara D3. Kuanggap mengikuti kelas broadcast di sana sebagai kesempatan
kedua, pengganti kesempatanku gagal untuk kuliah. Bukankah di IKJ juga
mempelajari ilmu broadcast?
Meski
dengan biaya yang hampir-hampir mepet setiap waktu pembayaran hasil jual
kambing, aku berusaha tekun datang pada jadwal ‘perkuliahan’. Menempuh jarak
ratusan kilo, dalam guyuran hujan, bahkan pulang kemalaman nggak dapat
kendaraan umum, semua kujalani untuk mendapatkan ilmu yang menjadi bagian dari
sebuah mimpi, mimpi yang kunamai cita-cita.
Disaat
yang sama aku juga bergabung pada sebuah Diklat yang diadakan sebuah Yayasan
pendidikan ternama, menggeluti bidang Kriya Kayu –merupakan salah satu program
studi di Fakultas Seni Rupa dan Disain, IKJ-. Diantaranya mempelajari seni
mengukir.
“Mbak,
ini nanti prakteknya berat lho. Kalau
misal pas PKL (Praktek Kerja Lapangan) panjenengan
diminta ngangkati balok atau
glondongan, apa kuat? Daftar yang tata busana saja, lagipula ini nggak ada
peserta putrinya, Mbak” Seorang panitia pendaftaran memperhatikanku dari ujung
kaki sampai ujung rambut.
“Waduh,
Pak. Kalau saya mau Tata Busana pasti saya tidak mendaftar di Kriya Kayu. Saya
mau belajar mengukir, bukan belajar menjahit. Kalau di kriya belum ada putrinya
biar saya yang jadi princess, kalau
hanya masalah kuat nggak kuat mengangkat glondongan, jangan khawatir, Pak… saya
ikutan beladiri kok, hehehe…” Aku kekeuh
dengan pilhanku, alhasil masuk juga aku pada Diklat Kriya Kayu dihari terakhir
pendaftaran, karena informasi yang kudapat juga telat. Ajaibnya kursi yang
tersedia tinggal satu-satunya dari jumlah kuota. So, it’s my chance…
Di
hari pertama penentuan jadual pelajaran dan kelompok pun aku harus berjibaku
mengatur waktu, karena jadual ‘kuliah‘ broadcast bentrok dengan jam terakhir
Diklat Kriya. Sementara aku harus menempuh perjalanan kurang lebih satu jam
untuk mencapai ‘Zigma Intercourse Campus’ –begitu aku menyebutnya-.
“Maaf,
Pak. Boleh saya keluar duluan, saya ada sekolah juga di Solo, nanti saya
hubungi pembimbing untuk mendapatkan jadualnya, please…” kupasang tampang memelas.
“Sekolah
apa lagi? Jangan-jangan ‘nyeleneh’ juga buat perempuan,” Bapak guru yang masih
bujang, salah seorang pemateri praktek
mengukir balik bertanya, sembari senyum-senyum, meledek? J
“Adaa
deh, daerah Jagalan. Oke, Pak?” aku tertawa.
“Apa
Universitas Indonesia Muda, Mbak?” Tanya seorang teman anggota diklat. Aku
menggeleng.
“Yo wis kono! Tahu trayeknya nggak? Jangan
nyasar orangtuanya jauh...” hehe pak guru bisa saja.
“Tenang,
Pak. Saya penganut slogan ‘malu bertanya sesat sendiri’, baiklah... sampai
ketemu besok siang mas-mas yang ganteng.. hehe” aku meninggalkan aula sebuah
SMK tempat diklat Kriya diadakan. Telingaku sempat menangkap sebuah suara salah
satu teman,
“Cewek
aneh.. “
“Bin
unik meski kurang cantik.” Tawa renyah terdengar sesudahnya. Let it go.. hahaha… that’s me.
Sama
halnya di kelas broadcast, aku adalah siswa tertua kedua setelah seorang ibu
guru SMP berputra dua. Lainnya adalah fresh
graduate dari sekolahnya, ada juga beberapa dari mereka masih duduk di
semester akhir seragam putih abu-abu dan segelintir mahasiswa dalam arti
sebenarnya, ingin juga mencari tambahan ilmu di luar kampus perguruan mereka.
Dari
diklat kriya kayu aku mendapat tugas PKL
di sebuah perusahaan meubel yang mengolah produknya dari bahan mentah
hingga menjadi produk siap pasar. Sebuah kesempatan bagus, belum tentu jika aku
melamar kerja di sana aku bisa diterima.
Begitupun
di kelas broadcast kami para siswa mendapat program magang di stasiun-stasiun radio,
sekali lagi hal itu merupakan kesempatan emas untukku. Bisa jadi pengalaman dan
kesempatan untuk cuap-cuap di radio sebagai penyiar, ketika itu merupakan hal
yang keren. Bahkan sekarangpun dunia kepenyiaran semakin diminati banyak orang,
terutama para remaja.
Sedangkan
dengan hobi menulisku, tidak jadi apa aku tidak kuliah di fakultas sastra.
Meski sekarang aku seorang ibu, kini aku tergabung dalam sebuah forum
kepenulisan, setidaknya sedikit banyak aku belajar tentang sastra meski secara
garis besarnya.
Ditilik
dari umur, tidak ada batasan usia untuk mendapatkan kesempatan kedua. Selama
kita mau berusaha, Tuhan tidak akan menjadikan usaha kita sia-sia.
Seiring
dengan kematangan jiwa, dendam terpendamku meluntur sudah. Bukan berarti tamat
kehidupan ataupun tidak menjadi apa-apa bahkan siapa-siapa meski gagal kuliah.
Selagi
nafas masih berhembus, kesehatan menyertai, tekad kuat menopang diri, maka tak
ada yang tak mungkin. Kesempatan selalu ada dan akan datang, kalaupun ada yang
mengatakan ‘kesempatan tak datang dua kali’, bagiku hanya sebagai satu
motivasi.
Tak
ada rotan akarpun jadi, mungkin pepatah itu lebih pas buatku. Cita-cita kuliah
di IKJ atau ASRI tak tercapai, Yang Maha Menentukan memberiku kesempatan untuk
mempelajari ilmu dan menimba pengalaman dengan jalan lain. Melalui cara-Nya
yang indah, kudapatkan kesempatan kedua.
Ya, anggaplah itu
sebagai kesempatan kedua bagiku dalam mencari ilmu. Namun ketika kesempatan
pertama datang, manfaatkan dengan sebaik-baiknya, jangan menunggu atau berharap
dengan adanya kesempatan kedua atau kesempatan berikutnya. Gagal bukan berarti
kalah, kegagalan adalah kemenangan yang tertunda, pameo satu ini layak
bersanding dengan pepatah ‘selalu ada kesempatan kedua’, semangat!! J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar