Rokok aja dulu...
Sewaktu kecil, suka mencari-cari sumbernya ketika tercium wangi kemenyan. Nha, ternyata embah-embah kakung sedang udut alias merokok, tingwe atau nglinthing dewe. Kok bisa rokok menguar aroma kemenyan? Ya waktu itu aku ndak tau, sekarangpun lupa racikan tingwe, yang keinget tinggal kertas yang berasa manis ketika diemut :)
Yang pasti aku ndak suka yang namanya rokok, sebab bikin aku mabok, pusing sepuluh keliling. Dari kecil sampai saat ini dan bahkan esok nanti. Saking nggak sukanya aku sama rokok, pernah ada tetangga nyeletuk (padahal dia nggak ngrokok, tapi ngotot ngatain aku kemayu, sok lah) "Lha bapakmu aja ngrokok gitu, mbok dikasih tau."
"Hadoh, nggak kurang-kurang aku kasih tahu bapak. Apa daya, kata bapak kalo ndak ngrokok ilang baguse hahaha." Itu tuh, banyak cowok yang ngrokok hanya karena nggak mau dibilang "Nggak macho, nggak keren, nggak gaul."
Macho apanya coba? Pipi jadi kempot [pasti yang pipinya chubi masih ngeles juga nih klo baca], keren dari mana kalau jadi bau tembakau [ah masih mending bau tembakau, lha wong yang namanya tembakau ada tuh Mbako Enak, wangi], kalau menurut gue pribadi sih mendingan keren cowok/lelaki bokek tapi nggak ngrokok. Ngrokok=gaul? Gaul sama penyakit iya.
Coba aja balik lagi dipikir, kalau secara penelitian [ya aku manut saja sama hasilnya, karena nggak bisa neliti sendiri dan yang jelas aku bukan ahli] rokok atau mengonsumsi rokok lebih banyak mudhorotnya dari pada manfaatnya. Trus juga, perokok itu selain nggak sayang sama diri sendiri juga nggak sayang sama orang lain juga orang-orang terdekat yang (katanya) disayangi. Masih menurut penelitian kan perokok pasif lebih rentan dengan penyakit yang disebabkan oleh rokok dari pada perokok aktif itu sendiri. Lha kalau dia bilang sayang anak, istri, teman, sahabat... tapi masih merokok deket-deket mereka? Apa bukan berarti sayangnya ikut hilang terbakar?
Plus sisa rokoknya yang berupa puntung, masih mending yang tanpa filter. Karena [lagi-lagi menurut penelitian ahli] tuh filter rokok kagak bakal diurai sama tanah selama puluhan tahun. Nha kalo buang puntungnya sembarangan? Bukan cuma nggak sayang sama sesama orang, tapi juga nggak sayang sama lingkungan.
Sejauh perjalanan waktu, hanya satu hal yang aku suka dari rokok. Sebuah narasi dari cerpen majalah HAI ketika aku masih unyu-unyu. Bahwa rokok itu senikmat bakmi, dan mungkin lebih pada narasi yang mendeskripsikan Marcel, si tokoh utama, titik. Selain itu rokok pokoknya minus, minus dan minus bagiku.
Anyway, aku berterimakasih kepada teman-teman mudaku dulu, sekarang juga masih (ngrasa) muda kok :p . Yang pengertian banget [meski terpaksa, entah ya] puasa rokok sepanjang perjalanan Anyer-Jakarta. Karena ikut rombongan bus dimana aku berada. Hahaha ngancem, "Kalo ada yang ngrokok selama di bus, aku nggak ngikut!!" Pun ketika selama PP ngompreng angkot ke jalur Cibodas, jadi menghemat bekal rokok mereka balik lagi ke rumah.
Untuk Indonesia, sebenarnya 'Dilema' bukan alasan untuk menghentikan atau mengurangi produk rokok, seandainya ada yang mau dan mampu membuat kebijakan. Baik untuk semua, bukan baik untuk beberapa pihak saja. Kalau ditanya "Apa usul anda untuk pernyataan tersebut?" Wah, gue juga mesti mikir dulu kaleee...Pokokna mah, stop rokok dah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar